sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. – Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) melelang pengelolaan kawasan Gurindam 12 di Tanjungpinang terus menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan menilai langkah ini bisa menjadi peluang penataan ekonomi rakyat, khususnya sektor kuliner dan pariwisata, agar lebih rapi, terukur, dan mampu menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, tak sedikit pula yang mengingatkan potensi penyimpangan jika proses lelang tidak berjalan transparan, bahkan bisa berujung pada monopoli kelompok tertentu.
Sejumlah tokoh masyarakat berpendapat bahwa kebijakan publik harus selalu berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan kepentingan oligarki. Mereka menekankan bahwa kritik bukan berarti menolak kebijakan secara keseluruhan, melainkan memastikan agar kebijakan tidak keluar dari jalur keadilan. “Kita mendukung kebijakan yang memberi manfaat untuk rakyat. Tapi kalau sejak awal sudah tidak transparan dan hanya menguntungkan kelompok tertentu, maka itu jelas pengkhianatan kepentingan publik,” ujar seorang aktivis muda di Tanjungpinang.
Sambungnya, lelang semestinya menjadi instrumen keterbukaan, bukan sekadar formalitas. “BUMD boleh ikut serta, swasta pun boleh. Tetapi jika BUMD hanya dijadikan peserta penggembira, itu berbahaya. Lelang harus fair, transparan, dan akuntabel. Kalau tidak, justru akan memperkuat persepsi publik bahwa semua sudah dikondisikan sejak awal,” jelasnya.
Keterlibatan DPRD sangat penting. “DPRD bukan hanya tahu, tapi harus mengawasi. Kalau mereka diam, publik bisa menilai ada pembiaran, atau bahkan dugaan keterlibatan. Padahal, area Gurindam 12 adalah aset strategis yang menyangkut wajah kota, identitas Melayu, sekaligus potensi ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Sebagian warga juga menyoroti langkah Pemprov yang terkesan defensif. Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, sempat menyatakan bahwa pengelolaan melalui lelang dilakukan agar kawasan lebih tertata rapi dan tidak dikuasai sebagian kecil pihak. Namun, narasi itu dipandang sebagian pihak sebagai komunikasi politik yang justru menimbulkan kesan ambisi pribadi. “Seharusnya pemerintah menjelaskan dengan data, bukan berbalas pantun. Publik butuh kepastian, bukan retorika,” sindir seorang pemerhati kebijakan publik.
Dalam perdebatan ini, isu monopoli kembali mencuat. Pengamat kebijakan publik dari Lembaga Kajian Demokrasi dan Otonomi Daerah, Riza Santosa, menegaskan bahwa monopoli pengelolaan aset publik berisiko besar terhadap daya saing ekonomi lokal. “Kalau lelang ini hanya jadi pintu masuk bagi swasta besar menguasai ruang usaha, sementara pedagang kecil hanya jadi penonton, maka manfaat PAD tidak sebanding dengan kerugian sosial. Pemerintah harus hati-hati, jangan sampai tujuan penataan berubah jadi konsesi panjang yang hanya menguntungkan segelintir pihak,” katanya.
Riza menambahkan, kontrak jangka panjang hingga 30 tahun memang lazim dalam skema pengelolaan aset, tetapi tidak berarti mutlak. “Dalam praktiknya, kontrak tetap bisa ditinjau jika ada pelanggaran, kecurangan, atau tidak sesuai dengan target PAD. Jangan sampai publik dibuat percaya bahwa kontrak panjang adalah harga mati. Itu keliru. Negara harus selalu punya mekanisme koreksi,” ujarnya.
Kawasan Gurindam 12 sendiri bukan pertama kali menyedot anggaran besar. Catatan Dinas PUPR Kepri menunjukkan, sejak diresmikan pada 2019, proyek ini sudah menelan dana ratusan miliar rupiah. Pada tahap awal pembangunan, alokasi mencapai Rp 110 miliar lebih untuk penimbunan lahan, pembangunan jalan, serta infrastruktur dasar. Tahun-tahun berikutnya, APBD kembali mengucurkan puluhan miliar rupiah untuk pekerjaan tambahan, termasuk penataan taman, lampu hias, serta fasilitas publik.
Namun, pemanfaatannya belum maksimal. Kawasan yang digadang-gadang menjadi ikon wisata kota justru masih banyak kosong, dengan kios kuliner dan lapak pedagang yang tidak terkelola optimal. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan alasan Pemprov untuk melelang pengelolaan kepada pihak ketiga, dengan dalih agar kawasan tidak terbengkalai dan bisa menghasilkan PAD.
Pengamat ekonomi publik Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Dedi Supriyanto, mengingatkan agar sejarah pengelolaan proyek bermasalah tidak terulang. “Kita sudah lihat di banyak tempat, proyek dengan investasi besar dari APBD tapi setelah jadi malah terbengkalai karena tidak ada manajemen profesional. Gurindam 12 jangan sampai bernasib sama. Kalau memang dilelang, harus ada klausul jelas tentang kontribusi ke PAD, keterlibatan pelaku usaha lokal, dan evaluasi rutin. Kalau tidak, ini hanya akan jadi cara baru mengalihkan aset publik ke swasta,” katanya.
Sejumlah kalangan mendorong agar opsi pengelolaan tidak hanya diserahkan ke swasta melalui lelang. Kolaborasi antara BUMD provinsi, BUMD Kota Tanjungpinang, atau bahkan dikelola langsung oleh pemerintah kota dinilai lebih relevan, mengingat Gurindam 12 berada di wilayah administratif Tanjungpinang. Dengan model ini, pengawasan bisa lebih dekat, transparansi lebih terjaga, dan manfaat langsung dirasakan oleh masyarakat kota.
Polemik Gurindam 12 kini menjadi ujian serius bagi Pemprov Kepri. Publik menunggu apakah lelang benar-benar dilakukan secara transparan, atau hanya menjadi jalan lain bagi konsesi panjang swasta tertentu. Yang jelas, rekam jejak proyek bermasalah di Kepri menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan harus berpijak pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan kelompok.”(timredaksi)