sidikfokusnews.com- Bintan- Kepulauan Riau.- Penyidik Reskrim Polsek Bintan Timur resmi menetapkan seorang pria berinisial TR (37) sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap Lelo Polisa Lubis (37), aktivis lingkungan asal Tanjungpinang. Kepolisian menyebut, TR dijerat dengan Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan dengan ancaman hukuman maksimal tiga bulan penjara.
Kapolsek Bintan Timur AKP Khapandi menjelaskan bahwa penetapan pasal tersebut merujuk pada hasil visum yang hanya menemukan luka memar di wajah korban. “Sudah ada delapan saksi diperiksa, dan bukti visum menjadi dasar pasal yang kami terapkan,” ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (9/9/2025).
Kanit Reskrim Polsek Bintan Timur, Ipda Daeng Salamun, menambahkan bahwa meskipun kasus telah naik ke tingkat penyidikan, penyelesaiannya tetap bisa ditempuh melalui mekanisme restorative justice (RJ). Hal ini sesuai Perkap Polri Nomor 8 Tahun 2021, dengan syarat korban dan tersangka sepakat berdamai, ada pemulihan nama baik korban, dan tersangka memenuhi hak-hak korban. “Ditambah lagi, tersangka belum pernah terpidana sebelumnya,” jelasnya.
Namun, penjelasan ini ditanggapi keras oleh korban. Lelo Polisa Lubis menolak pasal yang dikenakan penyidik, bahkan menuding adanya ketidakprofesionalan aparat dalam menangani perkara. “Tersangka yang ditetapkan tidak sesuai dengan keterangan yang saya tuangkan dalam BAP. Dari awal, kami meminta pasal yang dikenakan adalah Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, atau minimal Pasal 351 junto Pasal 55 KUHP. Bahkan ada ancaman senjata api yang saya terima di lokasi kejadian. Itu jelas memperberat perkara, bukan malah menurunkan pasal,” ungkapnya.
Lubis juga menyoroti kehadiran salah satu oknum anggota Polsek Bintan Timur dalam rombongan pelaku yang disebutnya sebagai bagian dari kunjungan swasta. “Apa kapasitasnya di sana? Kenapa ada aparat yang ikut serta dalam aktivitas swasta yang justru berujung pada kekerasan terhadap saya? Ini memperlihatkan adanya dugaan konflik kepentingan,” katanya.
Lebih jauh, Lubis menegaskan bahwa dirinya menolak opsi restorative justice. Menurutnya, mekanisme damai tidak relevan jika pelaku utama belum diungkap. “Bagaimana mungkin mau berdamai kalau yang melakukan si A, tapi yang diproses si Z? Saya pun tidak pernah dimintai keterangan lanjutan soal RJ. Bahkan saat BAP tanggal 9 Agustus, saya tidak menandatangani karena isinya tidak sesuai dengan keterangan saya sebelumnya,” tegasnya.
Penetapan pasal 352 dalam kasus ini bisa dianggap sebagai bentuk pelemahan perkara.” pengeroyokan dilakukan secara bersama-sama, Pasal 170 KUHP lebih tepat diterapkan. Terlebih lagi, adanya ancaman penggunaan senjata api jelas merupakan keadaan yang memperberat tindak pidana. Mengubah pasal menjadi 352 berpotensi menimbulkan kerugian saya sekaligus melemahkan posisi hukum,” ujarnya.
Sementara itu, restorative justice tidak bisa diterapkan sembarangan, apalagi dalam perkara yang melibatkan aktivis lingkungan dan diduga bersinggungan dengan kepentingan aparat. “RJ memang menjadi alternatif untuk mengurangi beban perkara, tetapi dalam kasus dengan dimensi kepentingan publik dan isu integritas aparat, penggunaan RJ bisa menimbulkan distrust. Masyarakat bisa melihat hukum seperti jalan pintas untuk melindungi pihak tertentu.
Kasus ini pun membuka ruang lebih luas tentang transparansi dan akuntabilitas kepolisian. Bila benar ada oknum aparat yang terlibat, penyelidikan internal mutlak diperlukan. Tanpa itu, publik akan menilai hukum kembali bekerja secara diskriminatif: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Dengan sikap tegas korban yang menolak restorative justice dan menuntut penerapan pasal sesuai fakta lapangan, kini sorotan publik tertuju pada Polsek Bintan Timur. Apakah mereka akan menjawab tuntutan keadilan secara objektif, atau justru membiarkan kasus ini menjadi preseden buruk tentang lemahnya profesionalisme aparat di daerah.”(redaksiSF)