sidikfokusnews.com- Tanjungpinang- Kepulauan Riau.- Rencana pelelangan sebagian lahan Taman Gurindam 12 oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau kembali memantik perdebatan publik. Meski pihak panitia menegaskan bahwa hanya 7.500 m² (sekitar 6 persen dari total 140.000 m²) yang dilelang untuk pembangunan empat restoran dan pengelolaan lahan parkir, keresahan masyarakat tetap menguat. Bukan soal ukuran, melainkan soal prinsip: apakah Gurindam 12 yang sarat nilai budaya boleh diperlakukan seperti sebidang tanah biasa?
Pengamat kebudayaan Melayu, akademisi, hingga praktisi hukum menilai langkah ini menunjukkan betapa pendeknya cara pandang sebagian pejabat ketika berhadapan dengan aset budaya. Pemerintah cenderung melihat taman tersebut sebagai beban perawatan yang bisa diubah menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bila digandengkan dengan investor swasta. Fokus utamanya adalah arus uang masuk ke kas daerah, tanpa mempertimbangkan makna simbolik dan kultural Gurindam 12 bagi masyarakat Kepri.
Di sisi lain, banyak pejabat tidak tumbuh dalam tradisi sastra Melayu. Bagi mereka, Gurindam 12 hanyalah monumen fisik. Padahal, peninggalan Raja Ali Haji ini adalah ruh identitas, pondasi moral orang Melayu yang telah menyeberangi generasi. Ketika simbol itu diperlakukan semata-mata sebagai komoditas, marwah budaya ikut dipertaruhkan.
Pragmatisme politik juga kerap menjadi alasan. Keputusan percepatan proyek sering kali diwarnai dorongan pencitraan “efisiensi” atau tekanan kontraktor. Sensitivitas budaya hampir tidak pernah masuk ke meja rapat yang penuh kalkulasi proyek. Publik pun semakin kecewa karena minimnya partisipasi. Budayawan, akademisi, tokoh masyarakat, bahkan warga Tanjungpinang sendiri jarang dilibatkan sejak awal. Kebijakan lahir dari ruang rapat elit, sementara suara masyarakat baru terdengar setelah rencana mencuat ke media.
Kelemahan regulasi daerah turut menjadi celah. Tanpa Peraturan Daerah yang secara tegas melindungi aset budaya, Gurindam 12 dipandang sama dengan gedung kantor atau lahan parkir yang bisa dilelang. Padahal secara hukum, status lahan Gurindam 12 adalah aset milik Pemprov Kepri. Pemprov tidak bisa begitu saja menyerahkan pengelolaan kepada pihak ketiga tanpa dasar hukum jelas. DPRD Kepri memiliki hak budget, hak pengawasan, dan hak persetujuan. Tanpa restu dewan, kerjasama dengan pihak ketiga, baik swasta maupun BUMD, tidak sah. Jika DPRD menyetujui, mereka ikut bertanggung jawab penuh atas “jual-beli marwah” ini. Sebaliknya, jika menolak, rencana otomatis gugur.
Pengamat pembangunan, Chaidarrahmat, menekankan pentingnya memperhatikan valuasi lahan. Lahan reklamasi di kawasan strategis seperti Gurindam 12 memiliki harga pasar sekitar Rp10 juta per m². Dengan luas 7.500 m², nilainya bisa mencapai Rp75 miliar untuk masa 90 tahun, atau Rp25 miliar untuk 30 tahun. Pertanyaan krusialnya: berapa harga kontrak lelang yang dipatok pemerintah? Jika hanya Rp2,5 miliar untuk 30 tahun, investor pasti berebut karena terlalu murah. Potensi moral hazard dan peluang korupsi pun terbuka lebar.
Keresahan semakin dalam ketika publik mengingat besarnya biaya pembangunan Gurindam 12 yang mencapai ratusan miliar dari APBD maupun APBN sejak era Gubernur Nurdin Basirun hingga kepemimpinan setelahnya. Jika kini sebagian lahan dilepas murah kepada swasta, wajar bila publik bertanya: siapa yang sejatinya diuntungkan?
Budayawan mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menjadi penjaga marwah budaya, bukan makelar aset. Gurindam 12 bukan sekadar bangunan beton, tetapi simbol kebijaksanaan Melayu. Melepasnya ke pihak swasta tanpa mekanisme perlindungan kultural sama saja dengan menggadaikan identitas.
Refleksi lebih tajam datang dari aktivis yang selalu terlibat menyuarakan kepentingan umum, Menurutnya, kecerdasan analitis tidak cukup tanpa realisasi nyata. Salah satu bentuk kecerdasan adalah keberanian berinteraksi langsung dengan masyarakat di lapangan. “Kita perlu tahu apa maunya mereka dan apa maunya kita. Jangan berhenti pada wacana atau argumentasi. Kita harus mampu merealisasikan apa yang kita inginkan melalui aksi nyata, entah dalam bentuk audiensi maupun demonstrasi,” ujarnya. Ia menegaskan, publik tidak boleh gampang dibujuk dengan “talam kecil” yang nilainya tidak seberapa, tetapi sanggup merusak cita-cita besar.
Polemik Gurindam 12 pada akhirnya bukan sekadar urusan ekonomi atau tata kelola lahan. Ia adalah pertarungan nilai: apakah Kepri berani menjaga marwah budaya Melayu, atau justru rela menukarnya dengan keuntungan jangka pendek? Jawabannya kini menunggu sikap DPRD Kepri. Keputusan dewan akan menjadi cermin: apakah mereka benar-benar dewan rakyat, atau sekadar dewan proyek.”(arf-6)