sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Polemik mengenai rencana pelelangan sebagian kawasan Gurindam 12 oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau akhirnya mulai menemukan titik terang. Beragam kabar yang beredar di media sosial, termasuk isu bahwa seluruh kawasan Gurindam 12 akan diprivatisasi dan dikenakan biaya masuk, ternyata tidak sepenuhnya benar.
Melalui komunikasi langsung dengan panitia lelang yang dilakukan secara terbuka di depan sejumlah wartawan, anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Dapil Tanjungpinang, Rudi Cua, menjelaskan beberapa poin penting hasil klarifikasi.
Pertama, hanya sebagian kecil dari total kawasan Gurindam 12 yang dilelang, yakni sebidang tanah seluas 7.500 m² atau sekitar 6 persen dari luas keseluruhan yang mencapai 140.000 m². Lahan ini akan difokuskan untuk pembangunan empat gedung restoran berkelas menengah ke atas dengan luas masing-masing 500 m², serta pengelolaan lahan parkir seluas 5.500 m² di bagian belakang.
Kedua, lelang ini tidak berarti akses masyarakat ke Gurindam 12 akan ditutup atau dikenakan biaya masuk. Panitia menegaskan bahwa kawasan Gurindam 12 tetap bisa diakses publik secara gratis. Yang akan berubah hanyalah mekanisme parkir di area khusus restoran, di mana kendaraan yang masuk ke zona tersebut akan dikenakan tarif resmi.
Ketiga, pihak pemenang lelang nantinya akan memikul kewajiban membangun empat gedung restoran sesuai spesifikasi yang ditentukan pemerintah, serta diberikan hak kelola selama 30 tahun. Sebagai kompensasi, mereka wajib membayar sewa tahunan dan memberikan kontribusi berupa persentase keuntungan kepada Pemprov Kepri.
Meski penjelasan ini meredakan sebagian kekhawatiran, tetap saja muncul sejumlah pertanyaan kritis dari kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis budaya. Pengamat kebijakan publik, menilai lelang ini masih menyimpan risiko privatisasi ruang publik.
“Kalau benar hanya 6 persen, memang secara angka kecil. Tapi kita perlu menilai fungsi sosial Gurindam 12. Ia bukan hanya soal tanah, melainkan simbol kebudayaan dan ruang interaksi warga. Begitu masuk logika bisnis, risiko marginalisasi masyarakat kecil tetap ada, apalagi jika harga parkir atau konsumsi di restoran tidak terjangkau.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Muhajir, SH., mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam merancang kontrak lelang. “Hak kelola selama 30 tahun itu setara dengan satu generasi. Artinya, ada komitmen jangka panjang yang berpotensi mengikat Pemprov. Kontrak harus transparan, adil, dan melibatkan mekanisme pengawasan rakyat agar tidak hanya menguntungkan investor,” tegasnya.
Bagi sebagian masyarakat, kekhawatiran terbesar bukan hanya soal lahan yang dilelang, tetapi juga dampak sosial-ekonomi jangka panjang. Jika kawasan restoran yang dibangun terlalu eksklusif, para pedagang kecil dan UMKM yang selama ini menggantungkan hidup di Gurindam 12 bisa terpinggirkan.
Aktivis budaya Melayu yang enggan namanya dituliskan pada saat media ini meminta pendapatnya, menilai pemerintah seharusnya tidak hanya berorientasi pada pendapatan, melainkan juga mempertimbangkan keberlanjutan identitas budaya. “Gurindam 12 itu ikon Melayu, ikon Kepri. Jangan sampai ia dipersempit maknanya hanya menjadi kawasan kuliner elite. Harus ada ruang yang jelas untuk rakyat kecil dan pelaku seni budaya agar tetap hidup di sana,” ujarnya.
Di sisi lain, Rudi Cua menekankan bahwa DPRD akan terus mengawal proses ini. “Kami memahami keresahan masyarakat. Itulah sebabnya klarifikasi dilakukan terbuka. DPRD punya fungsi pengawasan, dan kami pastikan suara rakyat tidak akan diabaikan,” katanya.
Dari berbagai pandangan tersebut, mengemuka kebutuhan akan formula pembangunan yang inklusif. Pemerintah perlu memastikan bahwa keberadaan restoran menengah atas tidak menyingkirkan UMKM lokal. Sebaliknya, ia bisa menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan, yang pada akhirnya justru menghidupkan ekonomi rakyat kecil jika dirancang dengan skema kolaboratif.
Pengamat ekonomi daerah, Dr. Eko Saputra, menyarankan agar kontrak lelang memasukkan klausul keterlibatan UMKM lokal. “Misalnya, 30 persen suplai bahan makanan harus berasal dari produsen lokal, atau ada kewajiban CSR untuk mendukung pelaku usaha kecil di Gurindam 12. Itu cara agar pembangunan tidak eksklusif,” tuturnya.
Polemik Gurindam 12 telah memperlihatkan betapa sensitifnya persoalan ruang publik yang menyatu dengan identitas budaya. Klarifikasi dari panitia lelang memang menepis isu privatisasi total, namun tetap menyisakan pekerjaan rumah: bagaimana memastikan pembangunan restoran dan pengelolaan parkir tidak merugikan rakyat kecil.
Ke depan, transparansi kontrak, partisipasi publik, serta peran aktif DPRD dan masyarakat sipil menjadi kunci. Sebab, Gurindam 12 bukan sekadar lahan, melainkan wajah Kepulauan Riau yang harus dijaga sebagai ruang bersama, bukan sekadar proyek bisnis.”(arf-6)