banner 728x250

Gurindam 12 Bukan Barang Dagangan

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Andi Rio Framantdha

sidikfokusnews.com- Tanjungpinang- Kepulauan Riau.- Rencana Gubernur Kepulauan Riau melelang pengelolaan kawasan Gurindam 12 bukan sekadar kebijakan kontroversial, melainkan tamparan keras bagi nurani masyarakat. Langkah ini memunculkan pertanyaan fundamental: apakah pemerintah daerah benar-benar sedang menggadaikan marwah Melayu demi kepentingan ekonomi jangka pendek?

banner 325x300

Gurindam 12 bukan tanah kosong yang bisa dipajang di meja lelang. Ia adalah simbol sejarah, identitas budaya, ruang ekonomi rakyat kecil, dan saksi hidup kearifan lokal. Ketika kawasan ini dijadikan objek kontrak bisnis, sesungguhnya kita sedang menyaksikan praktik privatisasi ruang publik yang terang-terangan bertolak belakang dengan amanat keadilan sosial.

Keputusan ini sejatinya adalah bentuk “pegadaian sosial”. Pedagang kecil, nelayan, hingga pelaku UKM yang selama ini berusaha di Gurindam 12 akan dipaksa tunduk kepada aturan korporasi pemenang tender. Suka atau tidak suka, mereka harus membayar agar bisa bertahan. Jika tidak, akses hidup mereka akan terputus. Inilah wajah telanjang dari pemiskinan struktural yang dibungkus dengan jargon pembangunan.

Bahaya terbesar dari kebijakan ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal keterasingan rakyat di tanahnya sendiri. Gurindam 12 bisa berubah menjadi kawasan eksklusif, steril dari denyut rakyat kecil, dengan logika bisnis yang dingin dan kaku. Padahal, kawasan ini seharusnya dirancang sebagai ruang bersama: inklusif, terbuka, serta tempat di mana budaya dan ekonomi rakyat tumbuh berdampingan.

Yang lebih mengkhawatirkan, kebijakan sebesar ini mustahil lahir dari seorang gubernur semata. Ada bayang-bayang kepentingan yang mengintai. Wakil gubernur, Sekda, OPD, hingga pihak ketiga yang tak kasat mata sangat mungkin ikut bermain. Inilah wajah politik kekuasaan yang penuh transaksi: keputusan publik yang seharusnya lahir dari suara rakyat justru digiring oleh kepentingan segelintir orang.

Di titik inilah DPRD Provinsi Kepulauan Riau diuji. Apakah mereka akan berdiri tegak sebagai corong rakyat atau justru memilih diam dan menjadi stempel kebijakan? Diamnya DPRD sama artinya dengan pengkhianatan terhadap konstituen. DPRD harus lantang menolak lelang Gurindam 12 dan mendesak agar kawasan ini tetap dikelola secara publik, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil.

Lembaga adat Melayu, tokoh budaya, LSM, dan komunitas sipil pun tak boleh bungkam. Gurindam 12 bukan milik gubernur, bukan milik investor. Ia adalah warisan kolektif yang seharusnya dijaga bersama. Jika kebijakan lelang ini terus dipaksakan, maka pemerintah daerah akan tercatat dalam sejarah sebagai pihak yang menjual harga diri budayanya sendiri.

Menggadaikan Gurindam 12 sama artinya dengan melelang marwah Melayu. Ini bukan sekadar soal proyek, ini adalah persoalan martabat. Dan martabat tidak pernah bisa ditukar dengan angka dalam dokumen kontrak.

Sebaliknya, jika DPRD, lembaga adat, dan masyarakat sipil bersatu menolak, Gurindam 12 bisa kembali ke jalur yang benar: dikelola dengan regulasi yang tegas, tata ruang yang rapi, serta partisipasi rakyat yang nyata. Tidak lagi semrawut, tidak lagi amburadul, melainkan tertata sebagai ikon Kepulauan Riau yang hidup, berdenyut, dan menjadi ruang rezeki rakyat kecil.

Melelang Gurindam 12 adalah kesalahan fatal. Membatalkannya adalah tindakan berdaulat. Karena Gurindam 12 bukan barang dagangan. Ia adalah wajah, jiwa, dan masa depan Kepulauan Riau.”(timredaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *