Oleh: Monica Nathan
sidikfokusnews.com-Batam.- Kepulauan Riau (Kepri) mungkin provinsi muda di Indonesia, baru berdiri tahun 2002 setelah berpisah dari Riau. Namun di balik kemudaannya, Kepri menyimpan warisan tua yang istimewa: akar bahasa Indonesia, jejak kesultanan terakhir Melayu, hingga peradaban maritim kosmopolitan yang pernah berjaya di Asia Tenggara.
Sayangnya, warisan itu kini kerap tertutup oleh persoalan kontemporer: mafia lahan, reklamasi pesisir, hingga penggusuran pedagang kecil. Ironi pun muncul: tanah yang melahirkan bahasa persatuan justru dihantam praktik kapitalisasi yang meminggirkan orang Melayu tempatan.
Bahasa Indonesia dari Penyengat
Sejarah mencatat, bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu Riau-Johor yang dibakukan di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Dari tangan Raja Ali Haji, lahir kamus, sejarah, dan kitab moral bangsa: Gurindam Dua Belas.
Bahasa itu sederhana, tapi kuat. Dari ruang sidang DPR hingga warung kopi, dari Sabang sampai Merauke, kita semua kini berbicara dalam bahasa yang akarnya tumbuh dari tanah Kepri.
Ironisnya, di negeri asalnya, masyarakat Melayu tempatan justru berulang kali tersisih dari tanah mereka sendiri, terhimpit pembangunan yang dikendalikan modal besar.
Kesultanan yang Dimakzulkan
Kesultanan Riau-Lingga berdiri sejak 1824, dengan pusatnya di Penyengat. Namun pada 1911, Sultan Abdul Rahman II dimakzulkan oleh Belanda. Istana dibakar, dokumen sejarah dimusnahkan. Langkah itu disengaja: memutus warisan politik dan intelektual Melayu, sekaligus membelah Riau-Johor menjadi dua kekuasaan kolonial — Inggris di Johor, Belanda di Riau-Lingga.
Meski demikian, jejak itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia hidup dalam hikayat, gurindam, dan marwah Melayu yang tetap mengakar di tengah perubahan zaman.
Keistimewaan yang Terlupakan
Jika Yogyakarta istimewa karena Jawa, maka Kepri istimewa karena Melayunya. Namun penghormatan yang sama tidak selalu tampak.
Padahal faktanya jelas:
Bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu Kepri.
Pulau Penyengat adalah Bunda Tanah Melayu.
Kesultanan Melayu terakhir berdiri di Kepri.
Gurindam Dua Belas menjadi kitab moral bangsa.
Bahasa Melayu pernah menjadi bahasa perdagangan dunia sejak era Sriwijaya dan Malaka.
Warisan ini mestinya menempatkan Kepri sejajar dengan daerah lain yang dijaga keistimewaannya.
Bhinneka Tunggal Ika dari Lautan
Semboyan bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika, menemukan wajah aslinya dalam budaya maritim Melayu.
Bahasa Melayu terbukti lentur: mampu menyatukan Minang, Batak, Jawa, Bugis, Dayak, hingga Papua. Budayanya inklusif: menerima pengaruh Arab, India, Cina, dan Eropa, tanpa kehilangan jati diri.
Dalam kosmopolitanisme itulah, Kepri pernah menjadi simpul perdagangan dunia. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah ini menjadi titik temu pedagang dari Timur dan Barat, dengan bahasa Melayu sebagai jembatannya.
Melayu Tempatan vs Mafia Lahan
Namun wajah istimewa Kepri kini dihadapkan pada kenyataan pahit. Mafia lahan, praktik reklamasi tanpa kendali, serta proyek-proyek yang mengatasnamakan pembangunan justru menggerus hak-hak masyarakat Melayu tempatan.
Di banyak tempat, dari Batam hingga Tanjungpinang, konflik agraria menjadi isu laten. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi ruang hidup warga tempatan beralih ke tangan pemodal. Pedagang kecil terancam tergusur dari ruang publik yang dikomersialisasi.
Situasi ini membuat pertanyaan besar mengemuka: apakah Kepri akan terus kehilangan warisan lokalnya demi kepentingan segelintir elit dan investor?
Menatap Indonesia dari Kepri
Kepri bukan semata provinsi baru. Ia adalah warisan tua yang sempat ditenggelamkan kolonialisme. Kini saatnya warisan itu kembali ke permukaan, bukan sekadar sebagai romantisme sejarah, tetapi juga sebagai pijakan untuk masa depan.
Seperti Yogyakarta yang dihormati karena budaya Jawa, Indonesia seharusnya menghormati Kepri karena Melayunya. Karena dari sinilah bahasa persatuan lahir, budaya maritim tumbuh, dan persaudaraan Nusantara menemukan bahasanya.
Kepri kecil, tapi punya suara besar: “Inilah aku — akar bahasa, budaya, marwah, dan persatuan Indonesia.”(arf-6)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 123