banner 728x250
Batam  

Kepulauan Riau: Provinsi Muda dengan Warisan Istimewa, Melayu Tempatan Dihantam Mafia Lahan

banner 120x600
banner 468x60

 

Oleh: Monica Nathan

banner 325x300

sidikfokusnews.com-Batam.- Kepulauan Riau (Kepri) mungkin provinsi muda di Indonesia, baru berdiri tahun 2002 setelah berpisah dari Riau. Namun di balik kemudaannya, Kepri menyimpan warisan tua yang istimewa: akar bahasa Indonesia, jejak kesultanan terakhir Melayu, hingga peradaban maritim kosmopolitan yang pernah berjaya di Asia Tenggara.

Sayangnya, warisan itu kini kerap tertutup oleh persoalan kontemporer: mafia lahan, reklamasi pesisir, hingga penggusuran pedagang kecil. Ironi pun muncul: tanah yang melahirkan bahasa persatuan justru dihantam praktik kapitalisasi yang meminggirkan orang Melayu tempatan.

Bahasa Indonesia dari Penyengat

Sejarah mencatat, bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu Riau-Johor yang dibakukan di Pulau Penyengat, Tanjungpinang. Dari tangan Raja Ali Haji, lahir kamus, sejarah, dan kitab moral bangsa: Gurindam Dua Belas.

Bahasa itu sederhana, tapi kuat. Dari ruang sidang DPR hingga warung kopi, dari Sabang sampai Merauke, kita semua kini berbicara dalam bahasa yang akarnya tumbuh dari tanah Kepri.

Ironisnya, di negeri asalnya, masyarakat Melayu tempatan justru berulang kali tersisih dari tanah mereka sendiri, terhimpit pembangunan yang dikendalikan modal besar.

Kesultanan yang Dimakzulkan

Kesultanan Riau-Lingga berdiri sejak 1824, dengan pusatnya di Penyengat. Namun pada 1911, Sultan Abdul Rahman II dimakzulkan oleh Belanda. Istana dibakar, dokumen sejarah dimusnahkan. Langkah itu disengaja: memutus warisan politik dan intelektual Melayu, sekaligus membelah Riau-Johor menjadi dua kekuasaan kolonial — Inggris di Johor, Belanda di Riau-Lingga.

Meski demikian, jejak itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia hidup dalam hikayat, gurindam, dan marwah Melayu yang tetap mengakar di tengah perubahan zaman.

Keistimewaan yang Terlupakan

Jika Yogyakarta istimewa karena Jawa, maka Kepri istimewa karena Melayunya. Namun penghormatan yang sama tidak selalu tampak.

Padahal faktanya jelas:

Bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu Kepri.

Pulau Penyengat adalah Bunda Tanah Melayu.

Kesultanan Melayu terakhir berdiri di Kepri.

Gurindam Dua Belas menjadi kitab moral bangsa.

Bahasa Melayu pernah menjadi bahasa perdagangan dunia sejak era Sriwijaya dan Malaka.

Warisan ini mestinya menempatkan Kepri sejajar dengan daerah lain yang dijaga keistimewaannya.

Bhinneka Tunggal Ika dari Lautan

Semboyan bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika, menemukan wajah aslinya dalam budaya maritim Melayu.

Bahasa Melayu terbukti lentur: mampu menyatukan Minang, Batak, Jawa, Bugis, Dayak, hingga Papua. Budayanya inklusif: menerima pengaruh Arab, India, Cina, dan Eropa, tanpa kehilangan jati diri.

Dalam kosmopolitanisme itulah, Kepri pernah menjadi simpul perdagangan dunia. Pelabuhan-pelabuhan di wilayah ini menjadi titik temu pedagang dari Timur dan Barat, dengan bahasa Melayu sebagai jembatannya.

Melayu Tempatan vs Mafia Lahan

Namun wajah istimewa Kepri kini dihadapkan pada kenyataan pahit. Mafia lahan, praktik reklamasi tanpa kendali, serta proyek-proyek yang mengatasnamakan pembangunan justru menggerus hak-hak masyarakat Melayu tempatan.

Di banyak tempat, dari Batam hingga Tanjungpinang, konflik agraria menjadi isu laten. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi ruang hidup warga tempatan beralih ke tangan pemodal. Pedagang kecil terancam tergusur dari ruang publik yang dikomersialisasi.

Situasi ini membuat pertanyaan besar mengemuka: apakah Kepri akan terus kehilangan warisan lokalnya demi kepentingan segelintir elit dan investor?

Menatap Indonesia dari Kepri

Kepri bukan semata provinsi baru. Ia adalah warisan tua yang sempat ditenggelamkan kolonialisme. Kini saatnya warisan itu kembali ke permukaan, bukan sekadar sebagai romantisme sejarah, tetapi juga sebagai pijakan untuk masa depan.

Seperti Yogyakarta yang dihormati karena budaya Jawa, Indonesia seharusnya menghormati Kepri karena Melayunya. Karena dari sinilah bahasa persatuan lahir, budaya maritim tumbuh, dan persaudaraan Nusantara menemukan bahasanya.

Kepri kecil, tapi punya suara besar: “Inilah aku — akar bahasa, budaya, marwah, dan persatuan Indonesia.”(arf-6)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *