banner 728x250

Menasihati Penguasa: Jihadul Akbar, Membiarkan Zalim adalah Subahat

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Dato Huzrin Hood

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.-Dalam lintasan sejarah bangsa, peranan seorang pemimpin ibarat nakhoda yang membawa kapal di tengah samudera luas. Arah haluan, keselamatan awak, dan tercapainya pelabuhan, semuanya ditentukan oleh kebijaksanaan serta keberanian sang nakhoda. Demikian pula seorang penguasa: ia memikul amanah besar, bukan hanya di hadapan rakyat, tetapi juga di hadapan Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

banner 325x300

Islam menegaskan bahwa menasihati penguasa yang zalim adalah sebuah jihad mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis ini menegaskan betapa berat sekaligus agung tugas rakyat, ulama, maupun cendekiawan untuk mengingatkan pemimpinnya. Kebenaran sering kali pahit bagi mereka yang mabuk kuasa, namun mendiamkan kezaliman jauh lebih berbahaya.

Budaya Melayu sejak dahulu sangat menjunjung marwah dan amanah. Dalam Tuhfat al-Nafis tercatat bagaimana raja-raja Melayu senantiasa dinasihati orang tua adat, ulama, dan pembesar istana agar tidak menzalimi rakyat. Sebab, sekali raja berbuat zalim, runtuhlah daulat dan hilanglah kasih rakyat. Pepatah Melayu mengingatkan: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.” Menegur pemimpin zalim bukanlah durhaka, melainkan tanda kesetiaan kepada kebenaran.

Namun, nasihat kepada penguasa tidak boleh disampaikan dengan kebencian atau makian. Islam mengajarkan kelembutan dan hikmah, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik.” Tujuan menasihati adalah mengingatkan bahwa kuasa hanyalah titipan, bukan milik pribadi, dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Bahaya besar justru muncul ketika rakyat memilih diam, takut, atau berpura-pura tidak melihat keburukan penguasanya. Diam dalam kondisi itu sama artinya dengan subahat, turut serta dalam dosa karena membiarkan kemungkaran terjadi. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.”

Sejarah membuktikan, kerajaan dan bangsa yang membiarkan penguasanya zalim tanpa teguran, akhirnya runtuh dari dalam. Karena itu, hari ini umat dituntut berani bersuara, menegur dengan santun, dan menasihati dengan bijaksana agar pemimpin kembali ke jalan benar. Menyampaikan kebenaran bukanlah tanda permusuhan, melainkan tanda cinta kepada negeri.

Para ulama sejak dahulu mengingatkan: “Barang siapa diam terhadap penguasa zalim, maka ia turut menjadi bagian dari kezalimannya.” Maka janganlah umat menjadi kaum yang subahat. Jadilah umat yang berani menegakkan marwah, adil, dan benar. Inilah jihadul akbar yang harus kita jalankan di zaman ini.”redaksiSF

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *