sidikfokusnews.com-Bintan- Kepulauan Riau.– Aroma busuk praktik investasi kotor menyeruak di Kecamatan Teluk Sebong. Sebuah perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) diduga nekat membangun dan merehabilitasi bangunan di pinggir sungai tanpa izin resmi. Padahal, hukum sudah sangat jelas: Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2025 melarang keras pembangunan di sempadan sungai dengan jarak minimal 50 meter dari tepi sungai di luar kawasan perkotaan. Sanksinya pun tegas: pembongkaran bangunan.
Namun, aturan negara seakan hanya kertas kosong di hadapan mereka yang berlimpah uang.
Modus Gelap Mengelabui Negara
Investigasi menemukan pola lama yang kembali dimainkan. PMA mendirikan perusahaan lokal bayangan—PT boneka—untuk menyamarkan kepentingan. Lahan disamarkan sebagai skema sewa-menyewa, lalu PT lokal dijadikan operator formal. Semua ini hanya topeng untuk menghindari pajak besar, memoles citra legalitas, sekaligus menipu pengawasan daerah.
Seorang pengamat kebijakan publik menilai praktik ini sebagai bentuk penyelundupan hukum yang merugikan negara sekaligus mencoreng kedaulatan hukum.
“Mereka bukan hanya menabrak aturan sempadan sungai, tapi juga merampas hak negara lewat penghindaran pajak. Kalau dibiarkan, investor asing akan seenaknya, sementara rakyat kecil langsung diusir kalau bangunannya salah satu meter saja,” ujarnya.
Negara Ditantang Uang. Bagi pakar tata ruang, pelanggaran sempadan sungai bukan sekadar soal izin, melainkan ancaman ekologis dan sosial.
“Sungai itu ruang hidup, bukan ruang bisnis. Kalau pemerintah daerah dan aparat diam, artinya mereka ikut jadi bagian dari masalah. Negara jangan kalah dengan uang,” tegasnya.
Kini, mata publik menyorot Satpol PP, DPRD, KPP Pratama, hingga aparat penegak hukum. Pertanyaan besar menggantung: apakah aturan akan benar-benar ditegakkan, atau semua hanya berhenti dalam rapat-rapat formalitas yang membosankan?
Seorang aktivis lingkungan menohok keras kondisi ini.
“Bangunan rakyat miskin bisa dibongkar dalam semalam, tapi investor asing dibiarkan menertawakan hukum. Ini bukan keadilan, ini penghinaan,” katanya.
Keadilan atau Investasi Kotor?
Kasus ini adalah ujian moral dan politik bagi pemerintah Kabupaten Bintan. Apakah mereka sedang ketiduran, atau memang memilih membisu di tengah fakta yang sudah terang-benderang di lapangan? Jika pemerintah daerah tak berani menindak, maka masyarakat bisa kehilangan sabar dan bertindak dengan caranya sendiri.
“Kalau pemerintah tidak berani bertindak, rakyat akan percaya bahwa hukum hanyalah pajangan, dan investasi hanyalah topeng kolonialisme baru,” pungkas seorang pengamat.”(arf-6)