sidikfokusnews.com-Anambas- Kepulauan Riau.– Proyek pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Letung (Roro) tahap II di Kuala Maras, Kecamatan Jemaja Timur, Kabupaten Kepulauan Anambas, kembali menuai sorotan tajam. Alih-alih membawa manfaat besar bagi masyarakat, proyek senilai Rp31 miliar lebih yang dibiayai APBN Kementerian Perhubungan ini justru memunculkan dugaan permainan antara kontraktor, konsultan pengawas, hingga pejabat pembuat komitmen (PPK).
Pelabuhan yang telah diserahterimakan pada Juli lalu oleh kontraktor PT Samudra Anugrah Indah Permai (SAIP) kepada Satuan Kerja Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Wilayah Kepri itu dinilai jauh dari standar mutu konstruksi. Aliansi Anambas Menggugat (ALAM) bersama masyarakat menemukan sejumlah kerusakan serius di lokasi, mulai dari lantai jalan masuk menuju dermaga yang retak dengan rongga tanah kosong di bawah beton hingga dinding batu miring (revetment) yang amblas dan retak.
“Pekerjaan jalan banyak yang retak lalu ditambal seadanya dengan semen. Itu hanya mengelabui pandangan masyarakat. Proyek ini jelas dikerjakan asal jadi, asal cepat selesai,” kata Fendi, warga Kuala Maras, penuh nada kesal.
Ia juga mempertanyakan sulitnya menghubungi PPK proyek, yang menurutnya semakin memperkuat dugaan adanya kongkalikong. “Patut diduga ada permainan antara kontraktor, konsultan pengawas, dan PPK,” tegasnya.
Di lapangan, sejumlah temuan memperlihatkan indikasi kuat penyimpangan teknis. Lantai jalan diduga tidak sesuai spesifikasi gambar, jarak besi beton yang tidak standar membuka kemungkinan adanya pengurangan volume material. Batu miring pelabuhan retak dan jebol, frontal frame rantai tidak terpasang penuh, hingga cover tiang dermaga yang sudah terkelupas menyebabkan besi beton berkarat. Bahkan, logo kubah mushola yang tercantum dalam kontrak belum juga dikerjakan.
Menurut Fendi, kerusakan ini disebabkan oleh struktur timbunan tanah yang tidak dipadatkan dengan baik serta pengerjaan beton yang tidak mengikuti prosedur teknis.
Pengamat konstruksi dan transportasi laut, Ir. Bambang Prakoso, M.Eng, menilai kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan sekaligus dugaan praktik pengurangan kualitas material. “Kalau ada rongga di bawah lantai beton, itu jelas indikasi pemadatan tanah dasar yang tidak dilakukan sesuai standar. Akibatnya, konstruksi cepat retak karena tidak ada daya dukung. Tambahan lagi, besi yang mulai berkarat karena cover beton mengelupas menunjukkan mutu pengerjaan sangat rendah,” ujarnya.
Bambang menekankan bahwa pelabuhan penyeberangan tipe Roro seharusnya dibangun dengan standar tinggi mengingat beban kendaraan dan kapal yang cukup besar. “Jika konstruksinya rapuh, bukan hanya rugi uang negara, tapi juga berbahaya bagi keselamatan penumpang,” katanya.
Menurutnya, semua pihak terkait harus diperiksa secara serius. “Kontraktor bisa saja menekan biaya material untuk mengejar keuntungan lebih besar, sementara pengawas dan PPK menutup mata. Kalau benar terbukti, ini masuk kategori tindak pidana korupsi konstruksi,” tegasnya.
Aliansi Anambas Menggugat (ALAM) bersama warga meminta agar Kejati Kepri dan Kejari Anambas segera turun tangan memeriksa proyek tersebut. “Jangan tunggu luapan kemarahan massa”. Tugas kejaksaan adalah membongkar dugaan korupsi yang merugikan negara. Kalau dibiarkan, proyek seperti ini akan terus menjadi tradisi gagal yang membebani rakyat,” ujar tokoh pemuda yang enggan disebutkan namanya.
Publik menuntut seluruh pihak bertanggung jawab, mulai dari kontraktor hingga pejabat BPTD Kepri yang menerima pekerjaan tersebut. Mereka menilai proyek pelabuhan ini telah gagal secara mutu, merugikan keuangan negara, dan mempermainkan hak rakyat yang seharusnya menikmati fasilitas transportasi laut yang aman dan layak.
Kasus ini membuka kembali luka lama: proyek infrastruktur yang kerap dijadikan lahan bancakan oleh segelintir pihak. Bila aparat penegak hukum tidak bertindak cepat, maka pelabuhan Letung hanya akan menjadi simbol baru dari ironi pembangunan di negeri maritim.”(timredaksiSF)
Berita Terkait
“Anambas–Natuna Diperas Pusat: Migas Melimpah, Rakyat Tetap Miskin – Saatnya Daerah Lawan Ketidakadilan Fiskal!” sidikfokusnews.com-Anambas.– Ironi pembangunan kembali menyeruak di dua daerah perbatasan kaya migas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di tengah derasnya aliran minyak dan gas bumi dari perut bumi ke kas negara, kedua daerah ini justru tetap menjadi penonton, jauh dari kemakmuran yang dijanjikan. “Anambas adalah penghasil migas terbesar di Kepulauan Riau, tapi lihat kondisi rakyatnya. Infrastruktur tertinggal, kemiskinan masih tinggi, sementara pejabat pusat dan oligarki hidup kaya raya dari hasil bumi daerah,” tegas Muhamad Basyir, tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil migas. DBH Migas Naik, Tapi Masih Jauh dari Keadilan Data resmi menunjukkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Kepulauan Anambas meningkat signifikan: Rp 30,7 miliar (2021), Rp 75,2 miliar (2022), hingga Rp 100,5 miliar (2023). Kabupaten Natuna mendapat porsi lebih besar karena menjadi wilayah penghasil utama. Namun, angka-angka itu belum mampu menghapus ketimpangan struktural antara pusat dan daerah. “Kita hanya diberi 15 persen. Itu pun hitungannya gelap, data lifting migas tidak transparan. Bagaimana mau bicara keadilan kalau dasar perhitungannya saja tidak jelas?” kata Rinaldy, Kepala Badan Keuangan Daerah Kepulauan Anambas. Menurutnya, pemerintah pusat harus membuka seluruh data lifting minyak dan gas sebagai dasar perhitungan DBH. Tanpa transparansi, daerah penghasil hanya akan terus menerima remah dari meja makan pusat. Aspek Hukum: UU Migas Dinilai Masih Sentralistik Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 memang menegaskan bahwa migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun, regulasi ini dinilai masih menyisakan celah ketidakadilan bagi daerah. Prof. Dr. Nurhayati Lubis, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menjelaskan: “UU Migas tidak secara spesifik mengatur pengelolaan sumur migas di atas 12 mil. Semua masih bersifat sentralistik. Padahal, Pasal 18B UUD 1945 memberi ruang bagi daerah dengan karakteristik khusus untuk mengelola sumber daya alamnya secara lebih adil.” Ia menambahkan, peraturan turunan harus segera direvisi agar daerah penghasil migas memperoleh porsi yang layak, bukan hanya sekadar ‘diberi’ pusat secara sepihak. Belajar dari Aceh dan Papua: Daerah Harus Bersatu Kesenjangan fiskal seperti ini bukan hal baru. Aceh dan Papua dulu mengalami hal serupa, hingga akhirnya status Otonomi Khusus diberikan setelah perjuangan panjang para tokoh daerah, kepala daerah, DPRD, dan masyarakat sipil yang bersatu menekan pemerintah pusat. “Anambas harus belajar dari sana. Jangan hanya ribut di grup WhatsApp. Bawa data, bawa tokoh masyarakat, DPRD, kepala daerah, dan langsung audensi dengan pemerintah pusat dan SKK Migas di Jakarta,” ujar Hamdan, tokoh Muda Anambas. Ia menegaskan, perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti di wacana. Harus ada roadmap politik yang jelas, dengan dukungan rakyat, agar pemerintah pusat tidak bisa lagi menutup mata. Ekonomi Politik Migas: Siapa yang Diuntungkan? Ekonom energi Dr. Farid Anwar menyebut fenomena ini sebagai local resource curse. “Daerah kaya sumber daya, tapi miskin kuasa. Nilai tambah ekonomi dan fiskal disedot pusat, oligarki tambang, dan korporasi besar. Sementara daerah penghasil hanya menanggung dampak sosial dan ekologisnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa reformasi kebijakan fiskal, daerah penghasil akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. “Kesejahteraan rakyat tidak boleh hanya menjadi retorika. DBH Migas harus benar-benar berpihak ke daerah penghasil.” Seruan perubahan kini menggema di Anambas dan Natuna Para tokoh menilai, momentum pengesahan RUU Penyitaan Aset dan revisi kebijakan fiskal harus dimanfaatkan untuk menuntut revisi alokasi DBH Migas dan transparansi penuh data lifting migas. “Kita tidak bicara makar. Ini soal keadilan. Hasil bumi daerah jangan terus diperas pusat tanpa imbal balik yang adil. Kalau Aceh dan Papua bisa, Anambas–Natuna juga harus bisa!” tegas Muhamad Basyir. Gerakan ini diharapkan tidak hanya menggugah pemerintah pusat, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat daerah bahwa hak-hak mereka tidak boleh lagi diabaikan.”(redaksiSF)
Post Views: 100