banner 728x250
Batam  

Omong Kosong DPR RI di Batam dan Respon Basi Wakil Rakyat Atas Tuntutan 17+8. Kalau Panja Hanya Basa-Basi, Apa Jaminan Tuntutan 17+8 Tak Bernasib Sama?

banner 120x600
banner 468x60

 

Penulis: Monica Nathan

banner 325x300

sidikfokusnews.com-Batam,-Jakarta dan sejumlah daerah lain masih bergetar pasca gelombang aksi akhir Agustus hingga awal September 2025. Aksi besar itu melahirkan paket 17+8 Tuntutan Rakyat: tujuh belas poin jangka pendek yang harus ditunaikan dalam lima hari, dan delapan poin jangka panjang untuk setahun ke depan. Total dua puluh lima tuntutan yang dikaitkan dengan simbol 17 Agustus, hari proklamasi kemerdekaan.

Namun, rapinya formulasi tuntutan itu menyisakan pertanyaan besar: apakah gerakan ini benar-benar punya greget, atau hanya berakhir di meja birokrasi Senayan?

Reaktif, Bukan Solutif. Banyak tuntutan jangka pendek yang muncul sebagai respons atas kerusuhan. Seruan membebaskan demonstran, menghentikan kriminalisasi, menarik TNI ke barak, hingga membentuk komisi independen investigasi korban demo memang penting. Tetapi substansi kemarahan rakyat jauh lebih dalam: ekonomi yang macet, mafia yang merajalela, dan DPR yang dinilai arogan, sibuk retorika, namun hidup mewah dari gaji serta fasilitas.

Proses, Bukan Hasil. Tuntutan jangka panjang seperti “reformasi DPR,” “reformasi partai politik,” atau “sahkan UU Perampasan Aset Koruptor” terdengar ideal. Namun sifatnya terlalu terbuka, rawan dijadikan alasan untuk menunda. DPR bisa saja berlindung di balik kata-kata “kami sedang proses,” tanpa pernah menghasilkan sesuatu yang nyata.

Belajar dari Panja Mandul. Kenyataan pahit sudah terbukti lewat Panja Mafia Tanah. Komisi VI membentuk Panja evaluasi tata kelola lahan Batam, Komisi III membentuk Panja pemberantasan mafia tanah. Mandatnya kuat, bisa memanggil pejabat, membuka data, bahkan menindaklanjuti kasus. Tetapi setelah enam bulan, hasilnya nihil. Purajaya tetap rata dengan tanah, Teluk Tering tetap direklamasi, mafia tetap berjaya.

Jika Panja yang sekuat itu saja tidak berdaya, apa jaminan 17+8 yang sifatnya abstrak bisa membawa hasil?

Moratorium Reklamasi: Show Off Politik

Di Batam, Wakil Wali Kota sempat mengumumkan moratorium reklamasi. Tetapi di lapangan, tiang pancang di Teluk Tering tetap tegak. Publik pun bertanya: kalau benar moratorium, mengapa proyek tetap jalan? Tanpa restu diam-diam BP Batam, mustahil reklamasi bisa berlangsung. Akhirnya, moratorium hanya dipandang sebagai pertunjukan politik—keras di kata, lemah di bukti.

Mosi Tidak Percaya, di tengah ketidakpastian ini, muncul desakan dari masyarakat Batam agar mandat anggota DPR dan DPD dari Dapil Kepri dicabut. Mereka dianggap tidak memberi manfaat bagi rakyat, hanya sekadar nama di kursi Senayan. Ajakan untuk membuat petisi bahkan sudah beredar di percakapan publik. Ini bukti ketidakpercayaan yang semakin dalam terhadap para wakil rakyat.

Bagi rakyat, yang dibutuhkan bukan lagi janji proses panjang, melainkan bukti hasil konkret. Tuntutan 17+8 hanya akan dinilai dari outcome yang bisa dirasakan. Jika DPR kembali menjawab dengan “kami sedang proses,” berarti 17+8 tak lebih dari Panja jilid dua—rapi di kertas, basi di kenyataan.

Purajaya adalah ujian pertama. Teluk Tering menjadi cermin. Kepercayaan masyarakat Kepri menjadi taruhan. Tanpa langkah nyata, semua janji akan berubah menjadi api dalam sekam, tampak tenang di permukaan tetapi siap membakar kapan saja.

Narasi yang keluar dari mulut anggota DPR saat ini jauh dari substansi masalah rakyat. Singkat kata: ambyar semuanya.” redaksiSF

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *