Oleh : Andi Rio Framantdha
sidikfokusnews.com- Tanjungpinang Kepulauan Riau.— Demokrasi Indonesia tengah berjalan menuju jurang kehancuran. Bukan oleh kudeta militer, bukan pula oleh diktator yang mengumbar arogansi, melainkan oleh racun yang lebih licik: loyalisme personal.
Fenomena ini hadir dalam bentuk fanbase politik yang mengkultuskan figur, dari Jokomania hingga Jokower, dan esok bisa saja menjelma dengan nama baru untuk tokoh lain. Mereka berteriak seolah membela rakyat, padahal sejatinya hanyalah perisai bagi segelintir orang yang haus kekuasaan.
Demokrasi sejatinya bukanlah panggung puja-puji. Demokrasi tidak boleh direduksi menjadi lomba siapa yang paling setia berlutut di hadapan figur. Demokrasi adalah ruang rakyat bersuara, ruang institusi bekerja, dan ruang meritokrasi ditegakkan. Namun kini yang terjadi justru sebaliknya: jabatan publik berubah menjadi hadiah, kekuasaan diwariskan seperti harta keluarga, meritokrasi dikubur, nepotisme dirayakan, sementara rakyat dipaksa menonton sandiwara murahan.
Lebih berbahaya lagi, fanatisme personal tidak pernah berdiri sendiri. Ia disusui oleh oligarki modal. Kapital besar menyusup sebagai sponsor, menjaga mesin fanatisme tetap berdengung. Lahirlah simbiosis mematikan: loyalis personal berteriak di jalan, oligarki tertawa di belakang layar. Negara pun berubah menjadi panggung dagang sapi—rakyat dijual murah, demokrasi dilelang kepada penawar tertinggi.
Inilah wajah baru pengkhianatan konstitusi. Bedanya dengan feodalisme klasik hanyalah bungkus. Jika dulu kekuasaan diwariskan secara turun-temurun, kini dikemas dalam jargon demokrasi. Seakan rakyat berdaulat, padahal sejatinya hanya penonton yang dipaksa bersorak.
Krisis ini semakin nyata ketika kita menengok sektor ekonomi. Sumber daya alam dikeruk sewenang-wenang melalui satu instruksi, kedekatan personal dengan penguasa menjadi jalan pintas. Pengusaha dipaksa menanggung pajak, sementara kewajiban negara justru diselewengkan oleh oknum. Lihatlah contoh konkret pada cukai rokok—penerimaan yang seharusnya menjadi kas negara demi kepentingan rakyat, justru digenggam erat seakan milik pribadi oleh mereka yang berkuasa di institusi.
Pertanyaannya: sampai kapan kita diam? Sampai kapan kita rela demokrasi digadaikan demi kepuasan segelintir figur dan keluarganya? Sampai kapan institusi negara direndahkan menjadi jongos politik balas jasa?
Sejarah mengajarkan bahwa demokrasi jarang mati dengan ledakan. Ia mati dengan tepuk tangan. Dengan sorak sorai yang menutupi perampokan kedaulatan rakyat. Dan hari ini, di Indonesia, tepuk tangan itu sudah terdengar keras.
Karena itu, seruan ini harus menggema: hentikan loyalisme personal. Robohkan panggung kultus individu. Bangun kembali demokrasi yang berpihak pada rakyat, bukan pada figur. Jika tidak, yang kita wariskan hanyalah demokrasi semu—topeng cantik yang menutupi wajah busuk oligarki, nepotisme, dan pengkhianatan pada republik.
Dan kelak, ketika anak cucu kita bertanya mengapa demokrasi diracun di depan mata, apakah kita akan menjawab dengan alasan, atau hanya dengan diam?