sidikfokusnews.com-Batam.— Universitas Batam kembali melahirkan lulusan doktor yang membanggakan. Kali ini, giliran Nelly Huzrin Hood, putri pertama dari Ketua Umum BP3KR H. Huzrin Hood, yang resmi menyandang gelar akademik tertinggi dalam bidang Manajemen Sumber Daya Manusia. Ujian terbuka promosi doktor yang digelar Rabu (3/9/2025) itu menjadi tonggak penting, bukan hanya bagi dirinya pribadi, tetapi juga bagi masyarakat Kepulauan Riau yang menyaksikan perjuangan seorang perempuan Kepri menembus batas diri.
Perempuan kelahiran Sungai Ungar, Kundur, 21 November 1979 ini bukan hanya seorang akademisi, tetapi juga ASN Pemprov Kepri, istri dari Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BP2D) Provinsi Kepri Doli Boniara, sekaligus ibu dari dua anak: Sultan Firman Rahmat Ramadhan yang juga ASN Pemprov Kepri, serta Muhammad Laksamana Lukmanul Hakim, siswa SMA Taruna Nusantara Malang. Peran ganda sebagai istri, ibu, dan aparatur sipil negara membuat perjalanan doktoralnya penuh tantangan.
“Menempuh pendidikan tinggi adalah mimpi lama saya. Saya ingin memberi contoh pada anak-anak, bahwa seorang ibu sekalipun tetap bisa berprestasi tanpa meninggalkan peran utama dalam keluarga,” ujar Nelly dengan mata berkaca-kaca sesaat setelah dinyatakan lulus.
Dalam disertasi berjudul “Pengaruh Integritas, Kompetensi, Beban Kerja, dan Akuntabilitas Terhadap Kinerja melalui Komitmen Organisasi pada Pegawai Pengelola Barang Milik Daerah Provinsi Kepulauan Riau”, Nelly menyoroti isu mendasar dalam tata kelola pemerintahan daerah. Penelitian ini bukan sekadar kajian akademis, melainkan bentuk pengabdian nyata untuk meningkatkan kualitas birokrasi di Kepri. Baginya, memperkuat integritas dan akuntabilitas ASN adalah fondasi bagi pelayanan publik yang lebih baik.
Kiprahnya juga mendapat makna lebih karena ia merupakan menantu dari almarhum Andi Rivai Siregar, tokoh birokrasi Kepri yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan sekaligus Penjabat Bupati Natuna pertama. “Saya ingin melanjutkan semangat pengabdian keluarga, bahwa bekerja di birokrasi adalah amanah untuk melayani rakyat,” ungkapnya.
Perjalanan meraih gelar doktor tentu tidak mudah. Ada malam-malam panjang yang diisi dengan begadang, ada hari-hari ketika ia harus meninggalkan rumah demi perkuliahan dan riset. Namun dukungan keluarga menjadi energi utama. Suami dan kedua anaknya selalu memberi semangat, meyakinkannya untuk tidak menyerah. “Tanpa doa dan dukungan mereka, saya mungkin sudah berhenti di tengah jalan,” tuturnya.
Rektor Universitas Batam, Prof. Dr. H. M. Arifin, menyampaikan apresiasi atas capaian Nelly. “Bu Nelly adalah contoh nyata bahwa perempuan Kepri mampu berkontribusi tidak hanya di rumah tangga dan birokrasi, tetapi juga di dunia akademik. Gelar doktor ini adalah investasi sosial, karena ilmunya akan berdampak pada peningkatan tata kelola pemerintahan,” ujarnya.
Nelly sendiri menegaskan bahwa gelar doktor bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari tanggung jawab baru. Ia bertekad mengaplikasikan ilmunya untuk memperkuat birokrasi Kepri yang lebih transparan, profesional, dan akuntabel. “Pendidikan adalah investasi seumur hidup. Jangan pernah berhenti belajar, karena ilmu adalah bekal terbaik untuk masa depan,” pungkasnya dengan senyum penuh kebanggaan.
Capaian Nelly Huzrin Hood adalah bukti bahwa tekad dan kerja keras mampu menembus batas. Di tengah perannya sebagai ASN, istri, dan ibu, ia membuktikan bahwa perempuan Kepri juga bisa berdiri di garda terdepan dalam dunia akademik dan pengabdian publik.”(arf-6)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 132