sidikfokusnews.com-Batam.– Tokoh masyarakat Kepulauan Riau, Dato’ Huzrin Hood, menyampaikan keprihatinannya atas laporan adanya restoran, kafe, maupun hotel di Batam yang melarang pekerja dan pengunjung muslimah mengenakan jilbab. Menurutnya, praktik seperti itu tidak hanya melukai perasaan umat Islam, tetapi juga berpotensi melanggar hukum dan merendahkan marwah budaya Melayu.
“Sebagai umat Islam, kita percaya dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: ‘Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi’ (QS. Al-A‘rāf: 96). Maka janganlah kita menutup pintu keberkahan itu dengan kebijakan yang melukai perasaan umat,” ujar Dato’ Huzrin, Jumat (5/9/2025).
Ia menegaskan, jilbab bagi muslimah bukan sekadar pakaian, tetapi perintah agama sekaligus identitas budaya. Dalam falsafah adat Melayu, syariat menjadi dasar pijakan adat, sehingga larangan berjilbab di ruang publik berarti menyentuh soal keyakinan sekaligus martabat budaya.
Secara konstitusional, kata Dato’ Huzrin, Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin kebebasan beragama melalui Pasal 28E dan Pasal 29. Jaminan serupa juga termaktub dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di ranah ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003 secara tegas melarang diskriminasi dalam kesempatan kerja, sementara Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 111 melalui UU Nomor 21 Tahun 1999.
“Artinya, kalau ada karyawan atau tamu dilarang berjilbab, itu bukan saja melukai hati umat, tapi juga berpotensi melanggar hukum negara,” jelasnya.
Fenomena pelarangan jilbab sendiri bukan hal baru. Komnas HAM RI beberapa kali menerima pengaduan terkait kebijakan perusahaan yang membatasi pemakaian jilbab di sektor perhotelan maupun ritel. Situasi ini, menurut Huzrin, seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah, organisasi masyarakat, dan dunia usaha untuk mencari solusi bersama.
Ia mendorong Lembaga Adat Melayu (LAM) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) baik di tingkat provinsi maupun kota Batam untuk segera membuat maklumat bersama. Maklumat itu diharapkan menjadi seruan moral dan adat agar pelaku usaha menghormati hak muslimah berjilbab tanpa mengurangi standar keselamatan kerja.
“Maklumat ini bukan untuk menekan, tapi sebagai seruan moral dan adat, agar semua pihak ingat bahwa negeri ini berdiri di atas hukum dan marwah. Kita ingin dunia usaha tetap maju, tapi juga ramah keluarga dan ramah keberagaman,” katanya.
Lebih lanjut, Dato’ Huzrin menawarkan solusi teknis yang menurutnya sederhana. Misalnya, pekerja dapur dapat menggunakan inner atau hijab sederhana yang sesuai standar higienitas, sementara di area mesin bisa digunakan hijab model aman tanpa peniti. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi perusahaan untuk melarang jilbab secara total.
Ia juga mengusulkan langkah-langkah konkret yang bisa memperkuat komitmen dunia usaha sekaligus melindungi masyarakat. Pertama, penerbitan maklumat edukatif oleh LAM dan MUI untuk mengingatkan pelaku usaha. Kedua, pemberian sertifikasi “Ramah Keluarga & Beradab” kepada restoran, hotel, dan kafe yang berkomitmen menghormati keberagaman, sehingga menjadi nilai tambah citra bisnis mereka. Ketiga, pembentukan hotline pengaduan dan mekanisme mediasi cepat, agar pekerja atau pengunjung yang mendapat perlakuan diskriminatif bisa melapor secara aman tanpa harus langsung memviralkan masalah di media sosial.
“Kalau ada masalah, jangan langsung viral di media sosial. Ada baiknya diselesaikan lewat jalur mediasi yang damai, agar dunia usaha tidak dirugikan, masyarakat terlindungi, dan keharmonisan tetap terjaga,” pesannya.
Menutup pernyataannya, Dato’ Huzrin mengingatkan posisi Batam sebagai etalase Kepulauan Riau. Kota industri dan pariwisata ini, menurutnya, harus menunjukkan wajah beradab, ramah wisata, ramah industri, sekaligus menghormati marwah Melayu.
“Jika kita saling menghargai dan berpegang pada hukum serta ajaran agama, insyaAllah keberkahan dari langit dan bumi akan semakin terbuka bagi negeri ini,” pungkasnya.”(timredaksiSF)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 71