banner 728x250

Anambas-Natuna Kaya Sumber Daya, Rakyat Tetap Miskin: Ketimpangan Pusat-Daerah yang Meminta Perubahan

banner 120x600
banner 468x60

sidikfokusnews.com-Tarempa/Natuna- Kepulauan Riau.— Di ujung barat Indonesia, dua gugus pulau strategis, Anambas dan Natuna, menyimpan cadangan minyak, gas, dan potensi kelautan yang luar biasa. Namun di balik kekayaan alam itu, angka kemiskinan masih mencolok, infrastruktur tertinggal, dan kesejahteraan masyarakat berjalan jauh di belakang daerah penghasil sumber daya lain.

“Ini ironi yang sudah terlalu lama dibiarkan,” kata Muhammad Fadil Hasan, SH, pemerhati sosial-politik Kepulauan Riau. “Kekayaan alam diangkut ke pusat, pajak dan konsesi mengalir ke Jakarta, sementara masyarakat di daerah penghasil hanya menerima remah. Inilah bentuk ketidakadilan fiskal yang harus kita lawan dengan cara konstitusional.”

banner 325x300

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sebagian besar pendapatan negara dari sektor migas diambil melalui skema bagi hasil yang ditentukan pusat. Daerah hanya memperoleh persentase terbatas, itupun seringkali tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan beban sosial-ekonomi yang ditanggung masyarakat setempat.

“Daerah seperti Anambas dan Natuna menghadapi fenomena resource curse versi lokal,” jelas Dr. Farid Anwar, ekonom regional Universitas Riau. “Mereka kaya sumber daya, tapi tanpa kontrol fiskal dan politik, mereka hanya menjadi penonton. Nilai tambah ekonomi tidak tinggal di daerah, melainkan tersedot ke pusat dan segelintir oligarki.”

Model pembangunan yang sentralistik, menurut Farid, melahirkan ketergantungan kronis: daerah penghasil harus ‘mengemis’ ke Jakarta untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau jalan, padahal hasil bumi mereka menopang APBN.

Aceh dan Papua menjadi contoh konkret bagaimana konsolidasi tokoh politik, masyarakat sipil, dan kepala daerah dapat memaksa pemerintah pusat memberi status otonomi khusus dengan skema bagi hasil yang lebih adil.

“Apakah sempurna? Tidak. Bahkan di Aceh dan Papua pun masih ada manipulasi birokrasi. Tapi tetap saja, porsi dana yang kembali ke daerah meningkat signifikan setelah mereka bersatu menuntut haknya,” ujar Fadil Hasan.

Menurutnya, kepala daerah Anambas dan Natuna tidak bisa lagi bergerak sendiri-sendiri. Harus ada koalisi strategis melibatkan tokoh pejuang pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas, tokoh adat, ormas, LSM, partai politik, akademisi, hingga masyarakat nelayan dan pemuda.

“Jika perjuangan dilakukan bersama, dengan suara bulat, pusat tidak akan bisa mengabaikan. Inilah momentum karena perhatian nasional sedang tertuju pada wilayah perbatasan dan pulau terluar,” tegas Fadil Hasan

Pandangan. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Prof. Nurhayati Lubis, menilai tuntutan ini memiliki dasar konstitusional yang jelas. Pasal 18B UUD 1945 memungkinkan daerah memperoleh kekhususan berdasarkan karakteristik dan kebutuhan tertentu.

“Selama ini pendekatannya terlalu birokratis. Padahal ruang politik dan hukum untuk menegosiasikan skema bagi hasil yang lebih adil terbuka lebar. Pemerintah daerah hanya perlu membangun political will dan menyatukan suara masyarakat,” ujarnya.

Fadil Hasan menegaskan, perjuangan ini bukan bentuk makar atau separatisme, melainkan tuntutan keadilan fiskal agar daerah bisa membangun tanpa selalu bergantung pada pusat.

“Kita hanya ingin hak kita kembali. Kalau pusat bisa hidup kaya raya dari hasil bumi daerah, mengapa masyarakat di sekitar sumur minyak dan ladang gas tetap miskin? Ini ketidakadilan yang harus diakhiri,” tegasnya.

Dengan status otonomi khusus, daerah akan memiliki kewenangan lebih besar mengelola pajak, retribusi, dan dana bagi hasil. Namun para ahli mengingatkan: kewenangan itu harus diiringi transparansi, tata kelola yang baik, dan partisipasi masyarakat agar tidak berujung pada oligarki lokal baru.

Momentum Menuju Keadilan Daerah. Dengan ketimpangan yang terus melebar, banyak pihak melihat inilah saatnya Anambas dan Natuna menuntut perubahan. Konsolidasi tokoh politik, masyarakat adat, akademisi, dan kepala daerah diyakini menjadi kunci untuk membuka pintu negosiasi serius dengan pemerintah pusat.

“Kalau Aceh dan Papua bisa, kenapa Anambas dan Natuna tidak? Ini soal keberanian politik, konsolidasi sosial, dan keseriusan memperjuangkan hak rakyat,” tutup Fadil Hasan.”(redaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *