sidikfokusnws.com-Kepulauan Anambas.– Di tengah memanasnya suhu politik nasional dan meningkatnya ketegangan sosial, seruan moral mengalir dari Kepulauan Anambas. Syahzinan, tokoh perjuangan pembentukan Provinsi Kepri dan inisiator Kabupaten Kepulauan Anambas, menyampaikan ajakan persatuan bagi seluruh elemen masyarakat dan elit daerah demi menyelamatkan bangsa dari jurang perpecahan.
Menurutnya, Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan yang rawan konflik akibat polarisasi politik, krisis kepercayaan, dan isu adu domba yang memecah belah rakyat. “Ibu Pertiwi sedang menangis. Para pendiri bangsa, bila masih hidup, akan meneteskan air mata melihat kondisi negeri ini. Jangan sampai perpecahan elit merusak persaudaraan anak-anak bangsa,” tegas Syahzinan dalam seruannya.
Syahzinan menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak: mulai dari Bupati, DPRD, FORKOPIMDA, partai politik, organisasi pemuda, ormas, LSM, Lembaga Adat Melayu (LAM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga tokoh lintas agama, tokoh adat, pemuda, intelektual, nelayan, petani, buruh, mahasiswa, pelajar, bahkan tukang ojek.
Tujuannya jelas: membuat pernyataan bersama yang menyejukkan suasana nasional dan menyuarakan pesan perdamaian. “Deklarasi bisa dilakukan di Lapangan Sulaiman Abdullah, Masjid Raya Astaka, atau Gedung BPMS. Kita ingin suara Anambas menggema ke seluruh Indonesia,” tambahnya.
Pengamat politik Universitas Indonesia, Prof. Ahmad Fadli, menilai langkah Syahzinan dan masyarakat Anambas ini sebagai inisiatif moral yang sangat penting di tengah memanasnya suhu politik nasional.
“Seruan dari daerah seringkali menjadi penyejuk di tengah konflik politik pusat. Jika Anambas bersatu menyuarakan perdamaian, ini bisa memicu efek domino ke daerah lain untuk melakukan hal serupa,” ujarnya.
Sosiolog politik Dr. Ratna Dewi menambahkan bahwa suara rakyat di daerah memiliki kekuatan moral karena lahir dari kepedulian tulus, bukan kepentingan politik. “Deklarasi semacam ini bisa menjadi penawar di tengah maraknya narasi provokatif yang memecah belah bangsa,” tegasnya.
Dari Anambas untuk Indonesia: Mendinginkan Suasana, Menyatukan Hati
Seruan ini bukan sekadar wacana. Masyarakat Anambas berharap deklarasi bersama tersebut dapat menjadi simbol persatuan nasional sekaligus pesan bahwa rakyat menginginkan ketenangan, bukan konflik.
“Bangsa ini terlalu besar untuk dipecah belah. Anak-anak bangsa butuh damai, butuh rasa aman, butuh masa depan. Dari Anambas, kita ingin mengirim pesan bahwa Indonesia harus tetap utuh, damai, dan berdaulat,” pungkas Syahzinan.”(redaksiSF)
Berita Terkait
“Anambas–Natuna Diperas Pusat: Migas Melimpah, Rakyat Tetap Miskin – Saatnya Daerah Lawan Ketidakadilan Fiskal!” sidikfokusnews.com-Anambas.– Ironi pembangunan kembali menyeruak di dua daerah perbatasan kaya migas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di tengah derasnya aliran minyak dan gas bumi dari perut bumi ke kas negara, kedua daerah ini justru tetap menjadi penonton, jauh dari kemakmuran yang dijanjikan. “Anambas adalah penghasil migas terbesar di Kepulauan Riau, tapi lihat kondisi rakyatnya. Infrastruktur tertinggal, kemiskinan masih tinggi, sementara pejabat pusat dan oligarki hidup kaya raya dari hasil bumi daerah,” tegas Muhamad Basyir, tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil migas. DBH Migas Naik, Tapi Masih Jauh dari Keadilan Data resmi menunjukkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Kepulauan Anambas meningkat signifikan: Rp 30,7 miliar (2021), Rp 75,2 miliar (2022), hingga Rp 100,5 miliar (2023). Kabupaten Natuna mendapat porsi lebih besar karena menjadi wilayah penghasil utama. Namun, angka-angka itu belum mampu menghapus ketimpangan struktural antara pusat dan daerah. “Kita hanya diberi 15 persen. Itu pun hitungannya gelap, data lifting migas tidak transparan. Bagaimana mau bicara keadilan kalau dasar perhitungannya saja tidak jelas?” kata Rinaldy, Kepala Badan Keuangan Daerah Kepulauan Anambas. Menurutnya, pemerintah pusat harus membuka seluruh data lifting minyak dan gas sebagai dasar perhitungan DBH. Tanpa transparansi, daerah penghasil hanya akan terus menerima remah dari meja makan pusat. Aspek Hukum: UU Migas Dinilai Masih Sentralistik Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 memang menegaskan bahwa migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun, regulasi ini dinilai masih menyisakan celah ketidakadilan bagi daerah. Prof. Dr. Nurhayati Lubis, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menjelaskan: “UU Migas tidak secara spesifik mengatur pengelolaan sumur migas di atas 12 mil. Semua masih bersifat sentralistik. Padahal, Pasal 18B UUD 1945 memberi ruang bagi daerah dengan karakteristik khusus untuk mengelola sumber daya alamnya secara lebih adil.” Ia menambahkan, peraturan turunan harus segera direvisi agar daerah penghasil migas memperoleh porsi yang layak, bukan hanya sekadar ‘diberi’ pusat secara sepihak. Belajar dari Aceh dan Papua: Daerah Harus Bersatu Kesenjangan fiskal seperti ini bukan hal baru. Aceh dan Papua dulu mengalami hal serupa, hingga akhirnya status Otonomi Khusus diberikan setelah perjuangan panjang para tokoh daerah, kepala daerah, DPRD, dan masyarakat sipil yang bersatu menekan pemerintah pusat. “Anambas harus belajar dari sana. Jangan hanya ribut di grup WhatsApp. Bawa data, bawa tokoh masyarakat, DPRD, kepala daerah, dan langsung audensi dengan pemerintah pusat dan SKK Migas di Jakarta,” ujar Hamdan, tokoh Muda Anambas. Ia menegaskan, perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti di wacana. Harus ada roadmap politik yang jelas, dengan dukungan rakyat, agar pemerintah pusat tidak bisa lagi menutup mata. Ekonomi Politik Migas: Siapa yang Diuntungkan? Ekonom energi Dr. Farid Anwar menyebut fenomena ini sebagai local resource curse. “Daerah kaya sumber daya, tapi miskin kuasa. Nilai tambah ekonomi dan fiskal disedot pusat, oligarki tambang, dan korporasi besar. Sementara daerah penghasil hanya menanggung dampak sosial dan ekologisnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa reformasi kebijakan fiskal, daerah penghasil akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. “Kesejahteraan rakyat tidak boleh hanya menjadi retorika. DBH Migas harus benar-benar berpihak ke daerah penghasil.” Seruan perubahan kini menggema di Anambas dan Natuna Para tokoh menilai, momentum pengesahan RUU Penyitaan Aset dan revisi kebijakan fiskal harus dimanfaatkan untuk menuntut revisi alokasi DBH Migas dan transparansi penuh data lifting migas. “Kita tidak bicara makar. Ini soal keadilan. Hasil bumi daerah jangan terus diperas pusat tanpa imbal balik yang adil. Kalau Aceh dan Papua bisa, Anambas–Natuna juga harus bisa!” tegas Muhamad Basyir. Gerakan ini diharapkan tidak hanya menggugah pemerintah pusat, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat daerah bahwa hak-hak mereka tidak boleh lagi diabaikan.”(redaksiSF)
Post Views: 142