sidikfakusnews.com-Jakarta.– Situasi politik dan ekonomi nasional kian memanas. Kemarahan rakyat yang terus membuncah kini mendapat suara lantang dari M. Fadil Hasan, SH., tokoh pejuang Kepri–Anambas, advokat nasional, sekaligus aktivis senior yang malang-melintang di dunia hukum sejak era Reformasi 1998. Ia memperingatkan bahwa pemerintah tidak boleh terus berpesta pora di tengah derita rakyat.
Dalam pernyataannya, Fadil Hasan menuding para pejabat dan wakil rakyat hidup borjuis bak raja-raja. Mereka menikmati gedung ber-AC mewah, sementara rakyat di bawah kian menderita akibat harga pangan melambung, lapangan kerja menyusut, dan korupsi merajalela.
“Mereka digaji dari uang rakyat tapi hidup berfoya-foya. Wajar rakyat marah. Kalau pemerintah tetap tuli, kemarahan rakyat bisa lebih dahsyat dari 1998,” tegas M. Fadil Hasan di Jakarta, Jumat (29/8).
Ia menegaskan tiga tuntutan rakyat: reformasi Polri agar kembali pada fungsi penegakan hukum yang bersih; reformasi DPR RI yang dinilai jauh dari aspirasi rakyat; serta penghapusan wamen dan komisaris BUMN yang dianggap hanya menguras APBN tanpa kontribusi nyata.
“Itu yang disebut efisiensi. Tidak ada alasan pemborosan anggaran di tengah rakyat lapar,” ujarnya.
Sebagai pelaku sejarah Reformasi 1998, Fadil Hasan menegaskan bahwa Reformasi Jilid II bukan sekadar ancaman, melainkan keniscayaan bila pemerintah tetap tidak peka.
“Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh perubahan nyata. Jangan tunggu badai kemarahan datang menghantam,” ucapnya dengan nada tinggi.
Pengamat, menilai bahasa politik yang digunakan Fadil Hasan mencerminkan eskalasi ketegangan publik. “Kata-kata seperti ‘borjuis’, ‘raja-raja’, dan ‘badai kemarahan’ menandakan krisis kepercayaan mencapai titik kritis. Pemerintah harus membaca sinyal ini sebelum meledak menjadi krisis politik nasional,” ujarnya.
Tragedi kematian Affan Kurniawan, pahlawan ojek online, menjadi pemicu ledakan kemarahan nasional. Satu nyawa rakyat kecil melayang akibat kesewenang-wenangan aparat, dan itu sudah cukup untuk memecahkan bendungan kemarahan yang selama ini tertahan.
Rakyat melihat pemerintah memaksakan proyek-proyek raksasa lewat skema PSN yang hanya menguntungkan para pemodal dan elite politik. Pajak mencekik rakyat, subsidi dipangkas, harga-harga melambung. Sementara pejabat hidup di menara gading: gaji DPR dinaikkan, rangkap jabatan merajalela, komisaris BUMN bergaji miliaran hanya untuk duduk manis tanpa kontribusi berarti.
“Sudah cukup! Presiden harus hentikan semua proyek yang merugikan rakyat. Bukan ditinjau ulang—dibatalkan! Kabinet gemuk dengan 100 menteri itu boros, tidak efisien, penuh jabatan siluman. Semua wamen, komisaris BUMN, pejabat-pejabat serakah itu harus disapu bersih,” tegas seorang tokoh pergerakan di Tanjungpinang.
Seruan paling keras ditujukan kepada Presiden: ganti Kapolri yang penuh kontroversi, yang institusinya sudah terlalu banyak masalah, dari korupsi internal hingga arogansi di lapangan. Evaluasi semua tunjangan DPR yang menggerogoti APBN tanpa manfaat nyata untuk rakyat.
Dari Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Medan, hingga pelosok Tasikmalaya dan Demak, Bima. Kepulauan Riau ke mana ? gelombang perlawanan rakyat bergema: hentikan arogansi, bersihkan rezim dari pejabat rakus, kembalikan negara untuk rakyat.
“Kalau penguasa tuli, sejarah akan berulang. Rakyat akan bergerak. Dan ketika itu terjadi, tidak ada tembok kekuasaan yang cukup tebal untuk menahan amarah ini,” ujar sang aktivis dengan nada bergetar.”(timredaksiSF)