sidikfokusnews.com-Jakarta-Bener Meriah.– Dugaan praktik rangkap jabatan, nepotisme, dan penyimpangan anggaran di Desa Ujung Gele, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah, kini menjadi sorotan publik. Sejumlah temuan warga dan media mengindikasikan tata kelola pemerintahan desa di sana jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH., pakar hukum internasional dan ekonomi, menilai kasus ini tidak bisa dibiarkan. Ia mendesak Gubernur Aceh agar segera memerintahkan Bupati Bener Meriah menyelidiki dugaan pelanggaran di Desa Ujung Gele maupun desa-desa lain di wilayah tersebut.
“Saya minta Gubernur Aceh perintahkan Bupati Bener Meriah untuk melakukan penyelidikan terbuka dan profesional. Jangan sampai praktik yang merugikan masyarakat ini dibiarkan berlarut-larut,” tegas Prof. Sutan saat diwawancarai sejumlah pemimpin redaksi media di Jakarta, Kamis (28/8/2025).
Investigasi warga menemukan indikasi nepotisme mencolok di Desa Ujung Gele. Seorang aparatur desa berinisial A dilaporkan menduduki banyak posisi sekaligus: mulai dari operator desa, kader KPM, kader SIKS-NG, hingga pengelola Sistem Informasi Desa (SID).
Ironisnya, suami A menjabat sebagai Sekretaris Desa. Kondisi ini memicu dugaan kuat bahwa satu keluarga menguasai hampir seluruh jabatan strategis di desa.
“Bagaimana mungkin suami-istri bisa menguasai banyak posisi? Ini jelas tidak sehat dan mencederai prinsip pemerintahan desa yang bersih,” ujar salah seorang tokoh masyarakat setempat.
Temuan lain terkait dugaan penyimpangan anggaran pendidikan desa. Papan informasi desa mencatat ada alokasi dana Rp48,6 juta per tahun untuk PAUD, TPA/TPQ, dan madrasah nonformal.
Namun, hasil penelusuran warga menunjukkan tidak ada PAUD di desa itu. TPA/TPQ dan madrasah nonformal pun bukan milik desa, melainkan dikelola pihak swasta.
“Kalau ada dana hampir Rp50 juta, mestinya masyarakat bisa melihat wujudnya. Jangan hanya di papan informasi ada, tapi di lapangan kosong,” ungkap seorang warga dengan nada kecewa.
Aturan Hukum yang Jelas Dilanggar.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara tegas melarang praktik rangkap jabatan dan konflik kepentingan. Pasal 51 huruf g menyebut perangkat desa dilarang merangkap jabatan lain yang dibiayai dari keuangan negara. Pasal 51 huruf h melarang pengangkatan pasangan hidup dalam satu struktur pemerintahan desa karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Selain itu, Permendagri No. 83 Tahun 2015 mengatur perangkat desa dapat diberhentikan jika terbukti melakukan rangkap jabatan atau penyalahgunaan wewenang. Jika penyalahgunaan dana desa terbukti, pelaku dapat dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman penjara hingga 20 tahun dan denda miliaran rupiah.
Praktik dugaan nepotisme, rangkap jabatan, dan penyimpangan anggaran di Desa Ujung Gele menimbulkan dampak serius bagi masyarakat. Warga mulai kehilangan kepercayaan terhadap aparatur desa, pembangunan berpotensi terhambat, dan ketidakadilan sosial semakin lebar karena jabatan strategis hanya dikuasai segelintir orang.
“Kalau praktik seperti ini dibiarkan, kepercayaan masyarakat akan runtuh. Pemerintahan desa bukan milik keluarga tertentu, melainkan harus melayani seluruh warga,” kata Prof. Sutan menegaskan,”(timredaksiSF)