sidikfokusnews.com-Surabaya.– Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) kembali menuai gelombang kritik keras dari para ekonom, pakar hukum, hingga pengamat transportasi. Janji manis “tanpa APBN” yang dulu disampaikan Presiden Joko Widodo kini berubah jadi beban berat keuangan negara. Biaya membengkak, target penumpang meleset jauh, dan PT KAI sebagai operator utama mulai megap-megap menanggung utang yang kian menumpuk.
Di tengah kontroversi ini, Dr Agus M Maksum, menyebut KCIC sebagai bukti salah kelola negara. Ia menilai, proyek yang semula dijanjikan tanpa jaminan pemerintah kini justru menyeret keuangan BUMN transportasi ke titik rawan.
“Dulu dijanjikan tanpa APBN, tanpa jaminan negara. Faktanya, dua-duanya tidak benar. Sekarang KAI yang semula sehat ikut tercekik. Ini bom waktu,” ujarnya.
Kritik juga datang dari pengamat ekonomi politik Faisal Basri. Sejak awal, ia mengingatkan bahwa proyeksi penumpang terlalu optimistis dan tidak masuk akal. Hitungan awal menyebut 76 ribu penumpang per hari, pesimisnya 50 ribu. Realisasi? Tak sampai 20 ribu, bahkan di hari-hari ramai. “Kalau begini terus, balik modal bisa butuh lebih dari 100 tahun. Angka-angka tidak pernah bohong,” tegas Faisal.
Tak hanya soal penumpang, pembengkakan biaya proyek juga jadi sorotan. Dari semula US$6 miliar, kini membengkak menjadi US$7,27 miliar. Sekitar tiga perempat dari total biaya itu berasal dari pinjaman China Development Bank. Artinya, risiko utang berbasis dolar menimpa proyek yang pendapatannya hanya dalam rupiah—sebuah ketimpangan yang menekan keuangan KAI dan negara.
Pakar hukum tata negara, Dr Seno Adji, menilai perlu ada audit forensik menyeluruh. “Kalau ada keputusan yang melanggar prinsip good governance, bahkan jika bukan korupsi, tetap harus ada pertanggungjawaban politik dan hukum. Tak bisa dibiarkan,” tegasnya.
Ia menekankan, audit harus menelusuri proses pengambilan keputusan sejak awal: dari penolakan tawaran Jepang yang lebih realistis hingga pemilihan Cina dengan janji biaya murah, cepat, dan tanpa jaminan yang akhirnya meleset semua.
Sorotan publik kini tertuju pada Presiden Joko Widodo dan Luhut Binsar Panjaitan sebagai tokoh utama di balik proyek ini. Jokowi yang memutuskan pemilihan investor dan Luhut sebagai “panglima” proyek dianggap punya tanggung jawab politik terbesar. DPR periode lalu juga tak luput dari kritik karena dinilai abai menjalankan fungsi pengawasan.
Ekonom Universitas Indonesia, Dr Lana Soelistianingsih, menyarankan restrukturisasi menyeluruh setelah audit dilakukan. “Jangan bicara restrukturisasi sebelum jelas siapa yang salah kelola. Setelah itu, baru negosiasi dengan CDB: tenor diperpanjang, bunga ditekan, grace period diperluas,” katanya.
Ia juga mengusulkan pemisahan peran infrastruktur dan operasi. “Biar Danantara jadi InfraCo fokus ke prasarana dan pembiayaan. KCIC jadi OpCo fokus ke penumpang. Risiko keuangan jadi lebih terkendali.”
Pengamat transportasi Darmaningtyas mengingatkan pentingnya monetisasi kawasan Transit Oriented Development (TOD) di sekitar stasiun kereta cepat. “Kereta cepat tanpa kawasan komersial di sekitarnya hanyalah besi panjang yang melaju. Hak penamaan, ritel, dan lahan sekitar harus jadi mesin uang. Kalau tidak, defisit hanya akan makin besar,” ujarnya.
Semua pihak sepakat, memperpanjang jalur ke Surabaya tanpa evaluasi mendalam sama saja dengan “menggandakan kegagalan”.
“Kalau Bandung saja rugi, Surabaya lima kali jarak dan biaya. Itu bunuh diri fiskal,” kritik Faisal Basri.
Para ahli sepakat bahwa solusi harus bertumpu pada tiga pilar: audit forensik untuk pertanggungjawaban politik dan hukum, restrukturisasi ekonomi demi keberlanjutan keuangan, serta model bisnis baru berbasis TOD agar proyek tak sekadar membebani negara.
Tanpa langkah berani ini, proyek KCIC dikhawatirkan hanya akan menjadi monumen ambisi politik yang berubah jadi beban generasi, meninggalkan utang panjang dan kepercayaan publik yang runtuh.” redaksiSF