Oleh : Nursalim Turatea
Ketua APEBSKID Kepri
Sumatera Barat menjadi saksi hadirnya dua sosok guru inspiratif yang membawa harum nama daerah mereka dalam sebuah ajang bergengsi, Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tingkat nasional. Kedua tokoh ini adalah Abah Basir dan Abah Syafriadi, pendidik yang telah lama mendedikasikan hidup mereka untuk dunia pendidikan dan pembentukan karakter generasi muda. Tidak hanya berkutat dengan tugas di ruang kelas, mereka juga menjadikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai dasar dalam mendidik anak bangsa.
Keikutsertaan mereka dalam MTQ PGRI bukan sekadar sebuah kompetisi, melainkan bukti nyata bahwa profesi guru memiliki peran strategis dalam menanamkan kecintaan terhadap Al-Qur’an di tengah derasnya arus modernisasi. Ajang ini tidak hanya menguji kemampuan membaca ayat-ayat suci dengan tajwid yang benar dan suara yang indah, tetapi juga menjadi sarana memperkuat ukhuwah Islamiyah di antara para pendidik dari seluruh Indonesia.
Perjalanan keduanya untuk bisa tampil di panggung nasional ini bukanlah sesuatu yang instan. Mereka memulai langkah dari seleksi tingkat daerah, bersaing dengan guru-guru hebat yang memiliki keahlian serupa. Berbekal ketekunan, kesabaran, dan semangat untuk membawa nama baik daerah, Abah Basir dan Abah Syafriadi berhasil melangkah hingga ke tingkat nasional. Mereka hadir di Sumatera Barat dengan penuh percaya diri, menyatukan niat bukan untuk mengejar popularitas, melainkan untuk menghidupkan nilai-nilai Qur’ani di dunia pendidikan.
Tampilan mereka di ajang MTQ PGRI Nasional benar-benar mencerminkan keteladanan seorang guru. Dengan balutan seragam batik PGRI yang khas, keduanya hadir membawa wibawa pendidik yang sesungguhnya. Sikap ramah dan santun menjadi ciri yang melekat, memperlihatkan bahwa guru bukan hanya pengajar di ruang kelas, tetapi juga teladan dalam perilaku sehari-hari. Ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, suara merdu yang mengalun penuh penghayatan berhasil memikat hati siapa saja yang mendengar. Bukan sekadar keindahan suara, tetapi pancaran ketulusan hati dalam mengagungkan kalam Ilahi yang membuat lantunan mereka begitu berkesan.
Keberhasilan Abah Basir dan Abah Syafriadi tampil di tingkat nasional membawa kebanggaan yang mendalam bagi rekan guru dan masyarakat di daerah asal. Banyak pihak memberikan apresiasi atas dedikasi keduanya yang mampu menyeimbangkan antara tugas sebagai pendidik dengan pengembangan potensi diri dalam bidang keagamaan. Mereka menjadi bukti bahwa guru sejati tidak hanya berkutat dengan buku pelajaran dan administrasi, melainkan terus berupaya memperkaya wawasan, memperkuat iman, serta mengasah kemampuan agar mampu memberi inspirasi.
Ajang MTQ PGRI ini memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar perlombaan. Ini adalah momentum untuk mengingatkan kita semua bahwa pendidikan tidak hanya tentang mencetak generasi cerdas secara akademis, tetapi juga membentuk akhlak dan karakter yang kokoh berlandaskan nilai-nilai Al-Qur’an. Guru seperti Abah Basir dan Abah Syafriadi adalah teladan nyata bagaimana ilmu dan iman berjalan beriringan untuk mencetak generasi berkarakter.
Dalam pesan yang mereka sampaikan, keduanya menegaskan bahwa keberhasilan dalam ajang ini bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana setiap guru mampu menghadirkan nilai-nilai Qur’ani dalam proses mendidik. Menurut mereka, guru harus menjadi contoh hidup yang mengajarkan kebaikan melalui tindakan, bukan hanya melalui kata-kata. Hal inilah yang menjadikan profesi guru begitu mulia dan patut mendapat penghargaan setinggi-tingginya.
Semoga perjalanan dan prestasi yang diraih Abah Basir dan Abah Syafriadi dapat menjadi inspirasi bagi seluruh pendidik di tanah air. Mereka telah menunjukkan bahwa guru adalah pribadi yang terus belajar, berjuang, dan mengabdi tanpa batas, bukan hanya untuk mengajar, tetapi untuk membangun peradaban. Kisah ini menjadi pengingat bahwa dunia pendidikan akan selalu bersinar jika para pendidik berkomitmen menanamkan ilmu dan akhlak sekaligus, karena dari tangan merekalah lahir generasi penerus yang cerdas dan berkarakter mulia.”redaksiSF
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 71