sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.– Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjungpinang resmi menerima pelimpahan tahap dua kasus pemalsuan dokumen lahan yang melibatkan enam tersangka berinisial ES, MR, ZA, RAZ, LL, dan KS. Pelimpahan ini dilakukan oleh penyidik Polresta Tanjungpinang pada Kamis (21/8) setelah penyidikan panjang di wilayah Tanjungpinang, Bintan, dan Batam.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Tanjungpinang, Martahan Napitupulu, menyampaikan bahwa enam tersangka tersebut diserahkan dengan lima berkas perkara. Empat tersangka tidak ditahan ulang karena sudah mendekam di balik jeruji dalam kasus lain, sedangkan dua lainnya, LL dan KS, langsung ditahan kembali karena belum pernah ditahan sebelumnya.
Selain tersangka, kejaksaan juga menerima barang bukti yang nilainya fantastis, mulai dari tiga unit rumah, 14 mobil, satu kapal pompong, speed boat, perhiasan, barang elektronik, dokumen, hingga uang tunai Rp689 juta. Seluruhnya akan menjadi bagian dari proses pembuktian di pengadilan.
Martahan memastikan bahwa penuntut umum akan segera menyusun berkas dakwaan sebelum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang untuk disidangkan. Para tersangka dijerat Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan/atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Di sisi lain, aliansi gerakan bersama (geber) beberapa waktu lalu sempat mendatangi Kejari Tanjungpinang mempertanyakan lambannya proses hukum atas kasus ini. Mereka menilai perkara pemalsuan dokumen lahan yang menelan 247 korban ini merupakan kejahatan luar biasa sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tegas.
Lebih lanjut geber, menilai penyidik dan kejaksaan perlu mempertimbangkan penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengingat besarnya nilai kerugian dan banyaknya barang bukti yang disita.
“Jika hasil kejahatan ini sudah berubah menjadi aset, penerapan pasal TPPU akan memberikan efek jera sekaligus membuka peluang bagi negara untuk merampas aset yang berasal dari tindak pidana,” ujarnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat enggan namanya disebutkan, kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan administrasi pertanahan di daerah. Ia menyebut pemalsuan dokumen tidak mungkin terjadi tanpa celah birokrasi yang dimanfaatkan para pelaku.
“Kasus ini seharusnya menjadi momentum pembenahan sistem pertanahan. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus berkolaborasi agar praktik serupa tidak berulang,” tegasnya
Kini, masyarakat menunggu langkah cepat kejaksaan untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Publik berharap proses hukum berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi ratusan korban yang telah dirugikan.”(timredaksiSF)