sidikfokusnews.com.Surabaya.— “Pembangunan adalah perluasan kemerdekaan,” demikian ungkapan ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, yang kini kembali relevan dalam perdebatan arah pendidikan nasional. Bagi Sen, pembangunan tidak semata-mata soal infrastruktur fisik, tetapi tentang memperluas ruang kebebasan manusia, termasuk melalui pendidikan.
Di Gunung Anyar, Surabaya, Rosyid College of Arts mengangkat gagasan ini dalam diskusi reflektif tentang posisi pendidikan di Indonesia pasca reformasi. Para akademisi dan pengamat mengingatkan bahwa pendidikan semestinya menjadi platform belajar yang memerdekakan, bukan sekadar jalur persekolahan yang menghasilkan buruh terampil bagi mesin industri.
Sejarawan pendidikan menilai, kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan melalui UUD 1945 sejatinya bukan hanya proklamasi politik, tetapi juga strategi untuk memperluas ruang kebebasan bangsa. “UUD 1945 adalah deklarasi sekaligus strategi memperluas kemerdekaan. Namun sejak perubahan menjadi UUD 2002, jembatan emas itu runtuh,” ujarnya. Menurutnya, arah kebijakan liberalisasi telah mengkerdilkan pendidikan, dari ruang pembebasan menuju instrumen teknokratis.
Pengamat sosial menambahkan, liberalisasi pendidikan menjadikan sekolah dan kampus tak lebih dari industri pengetahuan. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan justru sering dipersempit pada kompetensi teknis untuk pasar kerja. “Banyak sekolah dan kampus kini hanya menjadi tempat terbaik untuk menyombongkan diri, mempersempit akses, dan gagal membuka ruang kebebasan intelektual,” kritiknya.
Rosyid College of Arts menegaskan kembali bahwa pendidikan harus dipahami sebagai institusi sosial dan kebudayaan, bukan semata properti atau investasi ekonomi. Pendidikan yang memerdekakan berarti membangun sistem yang memungkinkan setiap individu tumbuh, berpikir kritis, dan menemukan kemanusiaannya.
Refleksi ini menghadirkan pertanyaan penting: apakah bangsa Indonesia masih memegang teguh mandat konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun masyarakat adil makmur? Atau justru terjebak dalam logika pasar yang mengubah pendidikan menjadi industri tanpa jiwa?,”(irga)