banner 728x250
Berita  

Jangan Teriak Merdeka, Malu Kita: Suara Satire Ahmad Sastra yang Mengguncang Nurani Bangsa

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, telahpun usai, suara kritis kembali menggema lewat puisi “Jangan Teriak Merdeka, Malu Kita” karya Dr. Ahmad Sastra yang dibacakan sastrawan besar Taufik Ismail. Puisi tersebut menyentil keras realitas sosial, politik, dan ekonomi bangsa yang dinilai masih jauh dari makna kemerdekaan sejati.

banner 325x300

Dalam bait-baitnya, Ahmad Sastra menggambarkan paradoks negeri yang disebut merdeka namun masih bergantung pada utang berbunga, impor kebutuhan pokok, hingga dominasi asing atas kekayaan alam. Ia menyoroti pula problematika buruh migran, kemiskinan yang terus menghimpit, korupsi yang membudaya, serta dekadensi moral yang kian meluas.

“Jika negeri ini masih dikuasai utang, jika rakyat masih miskin dan tanah bangsa dikuasai asing, jangan teriak merdeka. Lebih baik diam dan berpikir. Malu kita,” demikian salah satu penggalan puisinya.

Menurut pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Arie Setiawan, puisi ini bukan sekadar ekspresi sastra, melainkan bentuk kritik sosial yang menuntut refleksi nasional. “Kemerdekaan bukan hanya seremoni tahunan. Ia harus diwujudkan dalam kedaulatan ekonomi, kemandirian pangan, serta keadilan sosial. Kritik Ahmad Sastra sangat relevan di tengah kondisi Indonesia yang masih berhadapan dengan ketergantungan pada utang dan impor,” ujarnya.

Senada, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai bahwa isi puisi tersebut merefleksikan kegagalan negara dalam mengelola potensi alam. “Kita negeri penghasil nikel, batubara, minyak, dan hasil laut, tetapi nilai tambah masih dinikmati asing. Wajar bila muncul suara-suara yang mempertanyakan arti merdeka. Kemerdekaan ekonomi adalah fondasi utama agar bangsa ini tidak selamanya menjadi pasar,” tegasnya.

Sementara itu, budayawan kepulauan Riau, yang enggang namanya disebutkan menuturkan, menekankan bahwa puisi ini memiliki makna spiritual sekaligus moral. “Bait-bait Ahmad Sastra mengingatkan kita bahwa kemerdekaan harus dimaknai lebih dari sekadar bebas dari penjajahan fisik. Ada penjajahan gaya baru: utang, budaya instan, hingga degradasi moral. Pesannya sangat dalam: jangan bangga berteriak merdeka bila bangsa ini belum benar-benar berdaulat atas dirinya sendiri,” katanya.

Puisi “Jangan Teriak Merdeka, Malu Kita” dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, menimbulkan diskusi hangat di kalangan akademisi, aktivis, dan masyarakat umum. Ada yang menganggapnya terlalu pesimistis, namun banyak pula yang menilai kritik semacam ini justru perlu terus digaungkan agar bangsa tidak terbuai dalam euforia seremonial kemerdekaan.

Pada akhirnya, karya sastra ini hadir sebagai cermin. Ia menuntut setiap warga bangsa untuk bertanya: sudahkah Indonesia benar-benar merdeka? Ataukah kemerdekaan baru sebatas simbol, sementara kehidupan rakyat masih terikat pada belenggu utang, impor, kemiskinan, dan korupsi?,”(arf-6)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *