sidikfokusnews.com. Tanjungpinang.—
Perayaan kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia diwarnai gegap gempita di berbagai daerah. Namun, di balik semarak seremonial yang digelar dengan penuh kemegahan, masih banyak rakyat kecil yang merasakan bahwa arti kemerdekaan sejati belum benar-benar mereka nikmati.
Tokoh muda Kepulauan Riau, Sasjoni, menegaskan bahwa kemerdekaan tidak cukup hanya dimaknai lewat parade, upacara, atau pesta rakyat, tetapi harus tercermin dalam kepastian harga kebutuhan pokok yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
“Rakyat membutuhkan kepastian harga komoditas, bukan hanya pangkas harga saat pasar murah berlangsung. Pemerintah bisa mengatur harga ketika program digelar, tapi kenapa tidak dilakukan sepanjang tahun?” ujar Sasjoni, Minggu (17/8).
Menurutnya, program pasar murah yang digelar pemerintah selama ini hanya bersifat sesaat. Masyarakat memang terbantu dalam jangka pendek, tetapi setelah kegiatan berakhir, harga kembali melonjak dan daya beli rakyat tertekan. “Pasar murah hanya memberikan nafas pendek, tapi setelah itu rakyat kembali tercekik dengan harga tinggi. Pola intervensi seperti ini harus diubah menjadi sistem harga yang konsisten, merata, dan mendukung pedagang serta pasar lokal,” tambahnya.
Di Pasar Bintan Center, sejumlah pedagang mengeluhkan hal yang sama. Seorang penjual tahu-tempe mengaku dagangannya yang biasanya habis sebelum pukul 10 pagi, kini hingga siang masih bersisa banyak. “Separuh dagangan saja belum habis, Mas. Itu tandanya daya beli masyarakat memang turun drastis,” keluhnya.
Pedagang sayur di pasar yang sama juga menyuarakan keresahan. Menurutnya, keuntungan saat ini hampir tak ada, dan berjualan hanya sekadar untuk bertahan hidup. “Boro-boro mau untung. Bisa terjual habis saja sudah syukur, yang penting ada buat makan dan sekolah anak,” ucapnya dengan nada getir.
Kondisi ini menggambarkan bahwa kemerdekaan 80 tahun ternyata masih menyisakan beban berat bagi rakyat kecil, khususnya terkait akses terhadap pangan yang terjangkau.
Pandangan Ahli: Masalah Struktural, Bukan Sekadar Inflasi
Ekonom Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Dr. Rina Suryani, menilai problem daya beli masyarakat bukan hanya dipicu inflasi musiman, tetapi lebih pada stagnasi pendapatan yang tidak sejalan dengan kenaikan harga.
“Ketika pendapatan masyarakat tetap, sementara harga pangan terus bergerak naik, maka konsumsi otomatis menurun. Pedagang kecil jadi korban karena barang dagangannya tak terserap pasar. Jadi, ini masalah struktural, bukan sekadar soal inflasi jangka pendek,” jelasnya.
Dr. Rina menambahkan bahwa intervensi pasar murah memang membantu, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. “Kita butuh kebijakan jangka panjang berupa stabilisasi harga pangan, distribusi yang merata, serta dukungan modal untuk pedagang kecil. Itu lebih berkelanjutan dibanding sekadar menggelar pasar murah beberapa kali setahun,” tegasnya.
Dimensi Sosial: Kemerdekaan yang Belum Sepenuhnya Merata
Sosiolog LIPI, Prof. Imam Subandi, menilai fenomena ini menunjukkan kemerdekaan yang dirasakan masyarakat masih setengah jalan. “Bagi elite, kemerdekaan mungkin berarti kedaulatan politik. Tapi bagi rakyat kecil, kemerdekaan itu sangat konkret: bisa makan cukup, berdagang dengan tenang, menyekolahkan anak, dan hidup tanpa takut harga-harga melonjak liar. Ketika itu tidak tercapai, maka rasa kemerdekaan menjadi semu,” ujarnya.
Ia juga menyinggung kontrasnya kondisi rakyat dengan euforia perayaan kemerdekaan yang penuh kemewahan. “Di tingkat elite, kemerdekaan dirayakan dengan megah. Tapi di bawah, rakyat masih susah membeli pangan pokok. Itu jurang sosial yang nyata dan tidak bisa diabaikan,” tandasnya.
Momentum 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi titik balik untuk menata ulang kebijakan pangan yang berpihak kepada rakyat kecil. Ia mendorong pemerintah daerah maupun pusat segera menyusun mekanisme jangka panjang berupa cadangan pangan daerah, subsidi distribusi, serta dukungan modal bagi pedagang kecil.
“Merdeka artinya rakyat bisa makan cukup, berdagang dengan tenang, dan menyekolahkan anak tanpa khawatir harga melonjak liar. Itulah makna kemerdekaan sejati,” tegasnya.
Prof. Imam menambahkan, tanpa langkah konkret untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, kemerdekaan hanya akan menjadi perayaan simbolik. “Kemerdekaan sejati adalah ketika hukum berlaku adil tanpa tebang pilih, harga pangan terjangkau, dan rakyat bisa hidup damai serta sejahtera. Itulah yang seharusnya dipertandingkan, bukan sekadar euforia seremonial,” pungkasnya.”(arf-6)