banner 728x250

80 Tahun Merdeka, Pedagang Masih Bertahan di Tengah Lesunya Daya Beli

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Tanjungpinang.— Delapan dekade Indonesia merdeka, namun bagi sebagian rakyat kecil arti kemerdekaan belum sepenuhnya terasa. Di Pasar Bintan Center, pedagang hanya bisa bersyukur apabila dagangan mereka laku, meski dengan keuntungan yang sangat tipis.

banner 325x300

“Ya, kami masih terus berjuang, Mas. Menjual dengan harga yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. Boro-boro mau untung, bisa habis terjual saja sudah syukur. Yang penting ada untuk hidup dan menghidupi keluarga,” ucap seorang pedagang sayur dengan nada getir.

Keluhan serupa datang dari penjual tahu dan tempe. Jika biasanya dagangan mereka habis sebelum pukul 10 pagi, kini hingga siang pun masih tersisa. “Ini menandakan daya beli masyarakat menurun drastis. Separuh dagangan saja belum habis,” katanya.

Kondisi tersebut memunculkan sorotan dari tokoh masyarakat Kepulauan Riau. Menurut mereka, program pasar murah yang selama ini digelar pemerintah memang membantu, tetapi belum cukup menjawab kebutuhan masyarakat sehari-hari.

“Pasar murah jangan hanya enam bulan sekali, tapi kalau bisa rutin seminggu sekali. Itu akan lebih terasa dampaknya bagi rakyat kecil. Namun, pelaksanaannya jangan sampai mematikan pasar tradisional maupun pasar modern yang sudah ada,” ujar salah seorang tokoh Tanjungpinang.

Ekonom Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Dr. Rina Suryani, menilai melemahnya daya beli masyarakat adalah persoalan struktural. “Ketika harga pangan naik dan pendapatan tidak bertambah, konsumsi otomatis turun. Itulah yang kini dirasakan pedagang. Jadi ini bukan sekadar inflasi musiman, melainkan masalah struktural yang lebih dalam,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa intervensi pasar murah hanya solusi parsial. “Yang dibutuhkan adalah strategi jangka panjang: stabilisasi harga pangan pokok, peningkatan distribusi produk lokal, dan dukungan modal serta subsidi tepat sasaran untuk pedagang kecil,” tambahnya.

Sosiolog LIPI, Prof. Imam Subandi, menilai fenomena ini menggambarkan bahwa kemerdekaan yang dirasakan masyarakat masih timpang. “Bagi elite, kemerdekaan identik dengan kedaulatan politik. Tetapi bagi rakyat kecil, kemerdekaan itu sangat sederhana: bisa makan tiga kali sehari, bisa menyekolahkan anak, dan bisa berdagang dengan tenang. Ketika itu belum terpenuhi, maka kemerdekaan yang dirasakan hanyalah setengah jalan,” tegasnya.

Di sisi lain, perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia digelar dengan megah di berbagai daerah, bahkan dengan pesta skala besar. Kontras ini memunculkan kritik. “Kemegahan itu justru terasa menyakitkan ketika di saat yang sama rakyat kesulitan membeli kebutuhan pokok. Seharusnya pemerintah lebih bijak: kemerdekaan bukan sekadar seremonial, tapi soal memastikan dapur rakyat tetap mengepul,” ujar salah satu pengamat sosial di Kepri.

Daya beli masyarakat yang terus melemah memberi sinyal kuat perlunya kebijakan progresif. Pemerintah daerah dituntut memperluas akses pangan murah tanpa mengganggu ekosistem pasar tradisional, serta mempercepat penguatan UMKM dan distribusi pangan yang efisien.

“Delapan puluh tahun merdeka, seharusnya rakyat tidak hanya bangga dengan upacara, tapi juga merasakan kemerdekaan dalam perut yang kenyang dan dapur yang tetap mengepul,” pungkas Prof. Imam.”(arf_6)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *