sidikfokusnews.com-Banten.-Dalam panggung sejarah, teori sehebat apa pun akan menjadi sekadar catatan di rak buku jika tidak diiringi dengan kekuasaan yang mewujudkannya. Gagasan besar lahir di ruang pemikiran, tetapi hanya menemukan nyawa ketika bertransformasi menjadi kebijakan, keputusan, dan aksi nyata.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Prof. Budi Santosa, menegaskan bahwa sejarah peradaban selalu menunjukkan pola yang sama: konsep adalah awal, tetapi kekuasaan adalah penentu. “Islam menjadi kekuatan global bukan hanya karena tauhid yang murni, tetapi karena Rasulullah ﷺ dan para khalifah mampu membentuk negara yang kuat. Demikian pula kapitalisme—ia hidup bukan di tangan Adam Smith sebagai teoritikus, melainkan di tangan negara-negara yang mengadopsinya,” ujarnya.
Kunci penghubung antara gagasan dan kekuasaan adalah social capital atau modal sosial. Sosiolog politik dari Universitas Indonesia, Dr. Nur Rahma, menjelaskan bahwa modal sosial meliputi jaringan, loyalitas, dan kepercayaan yang terbangun di tengah masyarakat. “Ide yang hebat tanpa dukungan komunitas hanyalah seperti suara di padang pasir—indah didengar, tapi cepat hilang. Modal sosial adalah bahan bakar yang mendorong gagasan menembus tembok kekuasaan,” katanya.
Otoritas menjadi faktor berikutnya yang menentukan apakah sebuah konsep akan dikenang atau dilupakan. Sejarah tidak mengingat teori sebagai teks murni, melainkan siapa yang menggunakannya untuk membentuk realitas. “Otoritas adalah pena sejarah. Tanpa otoritas, teori hanyalah wacana akademis yang tenggelam dalam arsip,” tambah Dr. Nur Rahma.
Sejarawan politik, Dr. Rizal Hamid, menyimpulkan bahwa ada rumus sejarah yang konsisten: konsep + social capital + otoritas + kekuasaan = peradaban. Jika salah satu unsur ini hilang, apalagi kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah debu sejarah. “Banyak bangsa jatuh bukan karena kekurangan ide, tetapi karena gagal mengubah ide menjadi kekuatan politik yang berdaulat,” tegasnya.
Pertanyaan yang kini menggantung bagi Indonesia adalah apakah kita akan terus menjadi pengoleksi konsep—pandai berteori, tetapi gagal menulis sejarah—atau mulai membangun jaringan, merebut otoritas, dan menguasai panggung kekuasaan demi mengubah nasib bangsa. Sebab, sejarah hanya menghormati mereka yang menguasai kekuasaan. Sisanya hanyalah penonton yang terlupakan zaman.”(arf-6)