banner 728x250
Berita  

Penjual Jamu Keliling: Cermin Ketangguhan Ekonomi Rakyat dan Tantangan Pembangunan yang Berkeadilan

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Jombang-Jawa Timur.-Ditengah hiruk pikuk kota besar, pemandangan seorang perempuan mendorong gerobak berisi botol-botol jamu tradisional adalah kisah yang terus hidup dari masa ke masa. Ia berkeliling, singgah di depan toko, halte, dan pos keamanan, menyapa satpam, pramuniaga, dan pengemudi ojek daring yang menjadi langganan setianya. Bagi banyak orang, ia adalah pengingat akan tradisi kesehatan yang bertahan di tengah gempuran minuman instan, sekaligus simbol kerja keras demi nafkah halal.

banner 325x300

Pakar sosiologi ekonomi Universitas Indonesia, Dr. Lina Hartati, menyebut penjual jamu keliling sebagai “garda ekonomi rakyat yang tidak pernah masuk statistik resmi.” Menurutnya, sektor informal seperti ini berperan besar menjaga ketahanan ekonomi keluarga miskin perkotaan. “Mereka adalah bukti bahwa bangsa ini bukan pemalas. Mereka bertahan dengan kerja keras, di tengah biaya hidup yang terus naik, tanpa mengandalkan bantuan yang belum tentu datang tepat waktu,” ujarnya.

Mengutip pemikiran ekonom pemenang Nobel, Amartya Sen, pembangunan bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan perluasan kemerdekaan manusia untuk hidup layak dan sehat. Pembangunan hanya akan menjadi value for money jika dijalankan oleh operator yang kompeten dan birokrasi yang profesional serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika salah satu syarat itu gagal dipenuhi, maka investasi publik yang besar hanya menjadi value for monkeys—menguntungkan segelintir pihak, sementara rakyat kecil seperti penjual jamu tetap berjuang sendiri di jalanan.

Pengamat kebijakan publik dari LIPI, Dr. Darman Hadi, mengingatkan bahwa program pembangunan seringkali tidak menyentuh akar persoalan ekonomi rakyat. “Kita masih terjebak pada logika pembangunan yang mengukur kemajuan dari panjang jalan tol dan tinggi gedung, bukan dari berapa banyak warga yang mandiri secara ekonomi dan bebas dari jeratan kapitalisme eksploitatif,” katanya. Ia menilai, tanpa perlindungan sosial yang memadai dan akses modal yang adil, para pelaku usaha kecil seperti penjual jamu akan tetap berada di pinggiran arus ekonomi modern.

Fenomena penjual jamu keliling juga memperlihatkan paradoks kemerdekaan ekonomi. Di satu sisi, mereka bebas berusaha tanpa menjadi buruh korporasi besar. Di sisi lain, mereka tetap terhimpit oleh harga bahan baku yang naik, ruang publik yang semakin sempit, dan persaingan dengan produk pabrikan. “Pertanyaannya, sudah merdeka kah kita secara finansial, atau justru sedang dijajah oleh kapitalisme global yang menentukan harga, pasar, bahkan selera kita?” ungkap Dr. Lina.

Bagi banyak pelanggan, perempuan penjual jamu ini bukan sekadar penjual minuman herbal. Ia adalah bagian dari keseharian, teman ngobrol singkat di sela kesibukan, dan bukti hidup bahwa kerja keras masih menjadi jalan utama menjaga martabat. Di tengah janji pembangunan yang sering terdengar muluk, sosoknya mengingatkan bahwa ukuran keberhasilan bangsa tidak hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi dari berapa banyak rakyatnya yang benar-benar berdaulat secara ekonomi.(timredaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *