sidikfokusnews.com – Batam – Dalam momen peringatan kemerdekaan, muncul berbagai suara dan pemikiran yang mewarnai ruang diskusi masyarakat. Sebagian orang menegaskan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata para pendahulu. Kemerdekaan diyakini sebagai pintu menuju kehidupan yang lebih makmur, sejahtera, dan berkeadilan. Namun, rasa syukur ini tidak menutup kemungkinan munculnya kegelisahan atas realitas sosial dan kebijakan negara yang dirasakan membebani rakyat.

Isu pajak misalnya, menjadi sorotan yang kerap menimbulkan perdebatan. Ada yang menilai bahwa kenaikan pajak, bahkan hingga lebih dari 400 persen, justru menekan masyarakat kecil yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu, opini kritis terhadap kebijakan semacam ini sering dianggap wajar dan semestinya tidak dibungkam. Bagi sebagian kalangan, ketika rakyat menyuarakan kegelisahan, hal tersebut bukanlah bentuk perlawanan yang mengancam, melainkan ekspresi kepedulian terhadap jalannya negara.
Di sisi lain, ada pula pandangan yang menyoroti persoalan kemiskinan dari sudut pandang kemalasan. Muncul ungkapan bahwa kemiskinan semata-mata bukanlah akibat dari kebijakan negara, melainkan karena sikap malas individu yang enggan berjuang. Narasi ini kemudian dikritik, karena realitas di lapangan menunjukkan banyak orang yang setiap hari berusaha keras mencari pekerjaan, bahkan berkeliling dari kawasan industri ke kawasan industri, namun tetap kesulitan mendapatkan kesempatan. Dengan demikian, menyederhanakan kemiskinan hanya sebagai akibat kemalasan adalah bentuk ketidakadilan terhadap perjuangan rakyat kecil.
Perbandingan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam pun turut hadir dalam diskusi. Ada yang menyoroti bahwa di negara-negara tersebut kebebasan warganya lebih terbatas, termasuk dalam hal berbicara di media sosial, berkumpul, atau beribadah larut malam. Namun, membandingkan kemajuan sebuah bangsa dengan bangsa lain tentu tidak selalu relevan dengan konteks persoalan yang dihadapi dalam negeri. Masyarakat yang kritis terhadap kebijakan negara memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapatnya tanpa harus selalu dibandingkan dengan sistem negara lain.
Diskusi kemudian bergeser kepada peran guru dan dunia pendidikan dalam menjawab problematika pengangguran. Muncul pertanyaan kritis: apakah guru dapat dikatakan berhasil jika murid-muridnya mampu mengatasi problem kehidupan dan mandiri, ataukah keberhasilan guru diukur dari banyaknya murid yang sukses mendapatkan pekerjaan? Dalam hal ini, dijelaskan bahwa guru, kyai, maupun ulama memiliki tanggung jawab utama untuk mengajarkan ilmu, bukan menjamin kesejahteraan hidup murid di masa depan. Keberhasilan seorang guru bukan diukur dari status ekonomi muridnya kelak, melainkan dari sejauh mana murid mampu menyerap ilmu, mengembangkan akhlak, dan memiliki bekal pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupannya.
Namun, hal ini tidak berarti peran guru dan akademisi berhenti sebatas ruang kelas. Guru dan dosen juga diharapkan dapat membuka peluang, memperluas jejaring, dan menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi pengangguran. Setidaknya, kehadiran mereka dapat menginspirasi murid agar lebih mandiri, kritis, dan tidak menyerah menghadapi tantangan zaman.
Percakapan yang berkembang tersebut pada akhirnya merefleksikan wajah kehidupan berbangsa: ada rasa syukur atas kemerdekaan, ada kritik terhadap kebijakan negara, ada pandangan yang menyalahkan individu, ada pula suara yang membela rakyat kecil. Semuanya menunjukkan dinamika berpikir masyarakat Indonesia yang semakin terbuka dan plural. Diskusi ini sekaligus mengingatkan bahwa membangun bangsa tidak hanya soal kebijakan pemerintah, tetapi juga keterlibatan seluruh elemen—mulai dari guru, ulama, akademisi, hingga masyarakat biasa—dalam menata kehidupan yang lebih adil, makmur, dan bermartabat.
Editor : Nursalim Turatea
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 66