Sidikfokusnews.com. Batam- Kepulauan Riau.— Tragedi 11 September 2023 di depan Gedung BP Batam bukan sekadar catatan bentrokan antara warga dan aparat. Bagi Sasjoni, salah satu dari 34 tahanan peristiwa tersebut, tragedi ini adalah cermin bagaimana negara memilih jalur represif ketimbang dialog, mengorbankan sejarah panjang dan hak adat masyarakat Melayu Rempang demi proyek strategis nasional Rempang Eco-City.
“Belajar dari Pati tidak cukup. Luka Batam jauh lebih dalam,” tegas Sasjoni, menolak penyamaan kasus ini dengan konflik di daerah lain yang hanya menyoal harga diri pejabat. Menurutnya, yang dipertaruhkan di Batam adalah kelangsungan tanah adat Melayu, identitas budaya, dan hak hidup ribuan warga, bukan sekadar persoalan administrasi atau kebijakan lokal.
Penolakan terhadap proyek Rempang Eco-City berakar pada ketidakjelasan status lahan yang menjadi titik krusial dalam sengketa ini. Penelitian Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengungkapkan bahwa hingga kini, wilayah Rempang belum diklasifikasi secara tegas sebagai tanah adat (customary land) atau tanah negara. Kekosongan definisi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang berpotensi memicu pelanggaran hak asasi manusia. UMM menegaskan bahwa perlindungan masyarakat adat hanya bisa dicapai melalui inventarisasi yang menyeluruh—mengidentifikasi hak kontrol, kepemilikan, penggunaan, dan manfaat tanah tersebut.
Dari Universitas Gadjah Mada (UGM), praktisi hukum agraria Evander Nathanael Ginting menyebut konflik Rempang sebagai akumulasi masalah hak tanah, pelanggaran HAM, dan tekanan investasi. Ia menekankan bahwa masyarakat Melayu telah menghuni Rempang selama lebih dari dua abad, menjadikannya warisan kolektif yang tak ternilai. Namun, di tengah klaim adat tersebut, pemerintah justru menerbitkan hak guna usaha (HGU) kepada ekspansi industri, tanpa kejelasan batas kewenangan antara BP Batam dan hak tradisional masyarakat.
Ahli kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melihat adanya pola kebijakan yang memperburuk konflik. Ia menyoroti bahwa kekerasan aparat—termasuk penangkapan yang dinilai sewenang-wenang—telah menutup pintu dialog konstruktif. Kurangnya keterbukaan informasi publik membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan, sementara pemasangan pos keamanan dan tekanan hukum justru mempertebal ketegangan di lapangan.
Pandangan serupa datang dari peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, Siwage Dharma Negara, yang menilai kebijakan pembangunan Rempang terlalu cepat dan sentralistik. Minimnya partisipasi masyarakat membuat proyek yang digadang-gadang membawa manfaat ekonomi ini malah menuai penolakan keras. Menurutnya, tanpa keterlibatan warga sejak tahap perencanaan, pembangunan berisiko memicu resistensi yang berlarut-larut.
Perspektif para akademisi ini memperkuat pandangan Sasjoni. Ia memaknai penahanannya bukan sekadar kriminalisasi, tetapi sebagai bukti nyata kegagalan negara merespons jeritan rakyat dengan ruang dialog. Penolakannya terhadap analogi Pati mencerminkan bahwa yang dirugikan bukan hanya nilai sebuah institusi, melainkan akar budaya dan eksistensi masyarakat Melayu. Bagi Sasjoni, proyek apa pun yang memutus akar budaya akan melahirkan luka sosial yang jauh lebih dalam ketimbang kerugian materi.
Tragedi Batam adalah pelajaran tentang risiko pembangunan yang mengabaikan sejarah, hak adat, dan proses dialog. Sasjoni menegaskan, jika ingin belajar, belajarlah dari Batam—di sinilah terlihat konsekuensi nyata ketika ambisi pembangunan berjalan tanpa pijakan pada keadilan dan kesadaran budaya. Luka yang lahir bukan sekadar goresan, melainkan sayatan mendalam pada tubuh sejarah dan identitas bangsa.” (timredaksiSF)