banner 728x250

Ketegangan Menjelang Zikir Kebangsaan di Istiqlal: Antara Persatuan dan Polemik Sejarah Islam Nusantara

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-JAKARTA. – Jelang pelaksanaan Zikir Kebangsaan dan Ikrar Bela Negara di Masjid Istiqlal pada Ahad (10/8/2025) malam, tensi publik meningkat akibat penolakan terbuka dari kelompok Pejuang Wujudkan Islam Lurus Sejarah (PWI-LS). Kelompok ini menuding Habib Luthfi bin Yahya, yang akan memimpin acara, membawa narasi sejarah yang dinilai menguntungkan peran keturunan Arab Hadrami dan mengabaikan jasa para pejuang pribumi.

banner 325x300

Unggahan di media sosial yang viral dalam beberapa hari terakhir memuat tudingan bahwa pandangan sejarah Habib Luthfi merupakan “warisan” dari Usman bin Yahya, Mufti Batavia pada masa kolonial, yang oleh PWI-LS disebut sebagai bagian dari jaringan kekuasaan Hindia Belanda. Sentimen ini diperkuat dengan seruan aksi dari simpatisan PWI-LS di grup Telegram dan Facebook, dengan tagar #GerudukIstiqlal dan #TolakLuthfi, bahkan ajakan untuk membubarkan acara.

Habib Luthfi dikenal luas sebagai ulama sufi sekaligus Ketua Forum Ulama Sufi Dunia yang mengedepankan nasionalisme Islam, harmoni sosial, dan penolakan terhadap radikalisme. Acara yang akan dipimpinnya di Istiqlal bertema “Mengokohkan Cinta Tanah Air dan Perdamaian Dunia”, dan dihadiri ribuan jamaah dari berbagai daerah. Polda Metro Jaya memastikan pengamanan sesuai SOP kegiatan keagamaan besar, sembari memantau potensi gangguan dari massa penolak.

Pengamat sejarah Islam, Dr. Ahmad Syauqi, menilai gesekan ini bukan sekadar perbedaan pandangan tokoh, melainkan cerminan dari konflik narasi sejarah Islam di Indonesia yang telah berlangsung sejak lama. “Kita masih bergulat dengan pertanyaan: siapa yang berhak menjadi wajah Islam Nusantara? Apakah para habaib Hadrami yang berperan besar dalam jaringan dakwah, atau ulama lokal yang mengangkat Islam dari akar budaya pribumi?” ujarnya.

Sosiolog agama dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Nur Rahman, memandang fenomena ini sebagai benturan antara identitas kultural dan simbol keagamaan. “Bagi sebagian kelompok, tokoh keturunan Arab dianggap membawa ‘arus luar’ yang dapat meminggirkan sejarah lokal. Padahal, sejarah Islam di Nusantara sendiri adalah hasil interaksi, bukan monopoli satu kelompok etnis,” katanya.

Pengamat keamanan nasional, Brigjen (Purn) Syamsir Anwar, mengingatkan bahwa penggunaan isu sejarah sebagai alat mobilisasi massa dapat berbahaya. “Ketika sejarah dibungkus dengan sentimen etnis dan agama, risiko polarisasi meningkat. Apalagi jika dibawa ke ruang publik besar seperti Istiqlal, ini bisa memicu kericuhan yang tidak diinginkan.”

Sejarawan muda, Lailatul Qadri, menggarisbawahi perlunya rekonsiliasi narasi. Menurutnya, upaya menyatukan sejarah perjuangan Islam Nusantara seharusnya tidak dilakukan dengan saling menghapus kontribusi pihak lain. “Walisongo, habaib, ulama lokal—semuanya punya peran. Mempertemukan narasi ini adalah kunci menjaga kebersamaan di tengah keragaman sejarah.”

Meski kontroversi terus menggelinding, banyak pihak berharap acara Ahad malam nanti tetap berjalan damai. Masjid Istiqlal, sebagai simbol persatuan umat, diharapkan menjadi panggung silaturahmi lintas pandangan, bukan arena benturan ideologis. Namun, fakta bahwa ketegangan ini mencuat di tengah agenda kebangsaan menandakan bahwa rekonsiliasi sejarah Islam Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa.”(timredaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *