sidikfokusnews.com-Anambas- Kepulauan Riau. — Aliansi Anambas Menggugat (ALAM) melontarkan kritik keras terhadap pembangunan Pelabuhan Roro Letung di Desa Kuala Maras, Kecamatan Jemaja Timur, Kabupaten Kepulauan Anambas. Proyek yang diharapkan masyarakat Pulau Jemaja mampu memperlancar konektivitas justru menuai kekecewaan karena dinilai dibangun secara serampangan, molor dari jadwal, dan mengalami kerusakan bahkan sebelum diresmikan.
Sekretaris ALAM, Eko Pratama, menyebut kondisi ini memalukan dan mengkhianati harapan warga. “Ini bukan sekadar soal pembangunan. Jika benar ada permainan nakal kontraktor pelaksana dan pejabat terkait, masyarakat Jemaja harus bergerak. Kita kumpulkan fakta di lapangan, lalu serahkan ke penegak hukum demi harga diri kampung,” ujarnya.
Eko menilai pengawasan proyek minim transparansi. Satuan Kerja Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Kepri disebut seolah melindungi pelaksana proyek. “Dari awal keterlambatan pekerjaan, mereka bungkam. Tidak ada keterangan resmi soal perpanjangan waktu, sanksi, atau denda untuk kontraktor. Semua tertutup rapat,” tegasnya.
Lebih jauh, Eko mendesak aparat penegak hukum segera bertindak. Menurutnya, kondisi konstruksi yang sudah rusak adalah petunjuk awal adanya dugaan penyimpangan. Ia juga menuding adanya permainan kotor yang melibatkan kontraktor PT Samudra Anugrah Indah Permai, pejabat BPTD Kelas II Kepri, hingga pihak yang memiliki Pokok Pikiran (Pokir) dalam proyek ini, termasuk mantan anggota DPR RI Komisi V periode 2019–2024, Cen Suilan.
“Periksa dari awal semua pihak terkait. Kalau pengembangan dilakukan, benang merahnya akan ketemu. Jangan sampai pelabuhan yang mestinya mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perbatasan malah jadi sarana memperkaya segelintir orang,” kata Eko.
Pakar kebijakan infrastruktur, Ir. Bayu Hartono, M.Eng, menilai kasus ini berpotensi melanggar sejumlah aturan pengadaan barang dan jasa. “Kalau proyek molor tanpa mekanisme adendum kontrak yang jelas, apalagi sampai rusak sebelum digunakan, indikasinya bisa ke pelanggaran administratif dan pidana. Aparat bisa menggunakan UU Tipikor untuk menelusuri potensi kerugian negara,” jelasnya.
Pengamat tata kelola pemerintahan, Rina Fadillah, menekankan bahwa peran BPTD Kelas II Kepri sebagai pengawas proyek sangat krusial. “Diamnya pihak pengawas dalam kasus ini justru memperkuat dugaan pembiaran atau keterlibatan. Kementerian Perhubungan perlu turun langsung untuk melakukan audit investigasi,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Samudra Anugrah Indah Permai, BPTD Kelas II Kepri, maupun pihak yang disebut memiliki Pokir belum memberikan tanggapan resmi. Publik menanti langkah tegas aparat penegak hukum dan pemerintah pusat agar proyek strategis di daerah perbatasan tidak menjadi korban praktik korupsi dan kolusi.”( timredaksiSF)
Berita Terkait
“Anambas–Natuna Diperas Pusat: Migas Melimpah, Rakyat Tetap Miskin – Saatnya Daerah Lawan Ketidakadilan Fiskal!” sidikfokusnews.com-Anambas.– Ironi pembangunan kembali menyeruak di dua daerah perbatasan kaya migas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau. Di tengah derasnya aliran minyak dan gas bumi dari perut bumi ke kas negara, kedua daerah ini justru tetap menjadi penonton, jauh dari kemakmuran yang dijanjikan. “Anambas adalah penghasil migas terbesar di Kepulauan Riau, tapi lihat kondisi rakyatnya. Infrastruktur tertinggal, kemiskinan masih tinggi, sementara pejabat pusat dan oligarki hidup kaya raya dari hasil bumi daerah,” tegas Muhamad Basyir, tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil migas. DBH Migas Naik, Tapi Masih Jauh dari Keadilan Data resmi menunjukkan, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk Kabupaten Kepulauan Anambas meningkat signifikan: Rp 30,7 miliar (2021), Rp 75,2 miliar (2022), hingga Rp 100,5 miliar (2023). Kabupaten Natuna mendapat porsi lebih besar karena menjadi wilayah penghasil utama. Namun, angka-angka itu belum mampu menghapus ketimpangan struktural antara pusat dan daerah. “Kita hanya diberi 15 persen. Itu pun hitungannya gelap, data lifting migas tidak transparan. Bagaimana mau bicara keadilan kalau dasar perhitungannya saja tidak jelas?” kata Rinaldy, Kepala Badan Keuangan Daerah Kepulauan Anambas. Menurutnya, pemerintah pusat harus membuka seluruh data lifting minyak dan gas sebagai dasar perhitungan DBH. Tanpa transparansi, daerah penghasil hanya akan terus menerima remah dari meja makan pusat. Aspek Hukum: UU Migas Dinilai Masih Sentralistik Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 memang menegaskan bahwa migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai negara. Namun, regulasi ini dinilai masih menyisakan celah ketidakadilan bagi daerah. Prof. Dr. Nurhayati Lubis, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menjelaskan: “UU Migas tidak secara spesifik mengatur pengelolaan sumur migas di atas 12 mil. Semua masih bersifat sentralistik. Padahal, Pasal 18B UUD 1945 memberi ruang bagi daerah dengan karakteristik khusus untuk mengelola sumber daya alamnya secara lebih adil.” Ia menambahkan, peraturan turunan harus segera direvisi agar daerah penghasil migas memperoleh porsi yang layak, bukan hanya sekadar ‘diberi’ pusat secara sepihak. Belajar dari Aceh dan Papua: Daerah Harus Bersatu Kesenjangan fiskal seperti ini bukan hal baru. Aceh dan Papua dulu mengalami hal serupa, hingga akhirnya status Otonomi Khusus diberikan setelah perjuangan panjang para tokoh daerah, kepala daerah, DPRD, dan masyarakat sipil yang bersatu menekan pemerintah pusat. “Anambas harus belajar dari sana. Jangan hanya ribut di grup WhatsApp. Bawa data, bawa tokoh masyarakat, DPRD, kepala daerah, dan langsung audensi dengan pemerintah pusat dan SKK Migas di Jakarta,” ujar Hamdan, tokoh Muda Anambas. Ia menegaskan, perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti di wacana. Harus ada roadmap politik yang jelas, dengan dukungan rakyat, agar pemerintah pusat tidak bisa lagi menutup mata. Ekonomi Politik Migas: Siapa yang Diuntungkan? Ekonom energi Dr. Farid Anwar menyebut fenomena ini sebagai local resource curse. “Daerah kaya sumber daya, tapi miskin kuasa. Nilai tambah ekonomi dan fiskal disedot pusat, oligarki tambang, dan korporasi besar. Sementara daerah penghasil hanya menanggung dampak sosial dan ekologisnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa reformasi kebijakan fiskal, daerah penghasil akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. “Kesejahteraan rakyat tidak boleh hanya menjadi retorika. DBH Migas harus benar-benar berpihak ke daerah penghasil.” Seruan perubahan kini menggema di Anambas dan Natuna Para tokoh menilai, momentum pengesahan RUU Penyitaan Aset dan revisi kebijakan fiskal harus dimanfaatkan untuk menuntut revisi alokasi DBH Migas dan transparansi penuh data lifting migas. “Kita tidak bicara makar. Ini soal keadilan. Hasil bumi daerah jangan terus diperas pusat tanpa imbal balik yang adil. Kalau Aceh dan Papua bisa, Anambas–Natuna juga harus bisa!” tegas Muhamad Basyir. Gerakan ini diharapkan tidak hanya menggugah pemerintah pusat, tetapi juga membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat daerah bahwa hak-hak mereka tidak boleh lagi diabaikan.”(redaksiSF)
Post Views: 140