sidikfokusnews.com-Jakarta.— Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif 19% untuk sejumlah produk asal Asia Tenggara tampak seperti kebijakan dagang biasa. Namun, bagi pengamat geopolitik dan ekonomi global, kebijakan ini lebih menyerupai pisau bedah yang memotong jaringan lama perdagangan internasional dan membuka peta baru perebutan pengaruh.
Bagi publik awam di Indonesia, tarif 19% mungkin menimbulkan rasa heran: mengapa Indonesia ikut terkena? Bukankah selama ini kita dianggap mitra strategis? Tetapi bagi pelaku bisnis besar dan pemegang kekuasaan ekonomi di balik layar, tarif ini membawa dampak jauh lebih besar—dan tidak semuanya merugikan Indonesia.
Agus M. Maksum, menilai bahwa tarif Trump, ketika dipadukan dengan langkah-langkah strategis Presiden Prabowo, justru mengguncang fondasi oligarki lama. “Trump bermain di permukaan lewat tarif. Prabowo bermain di bawah permukaan lewat strategi negosiasi dan reposisi ekonomi. Dampaknya, jaringan lama yang menguasai impor pangan dan data mulai kehilangan pijakan,” tulisnya.
Dr. Eleanor Weiss, pakar perdagangan internasional dari London School of Economics, mengatakan bahwa efek dari tarif ini tidak linier. “Ketika tarif terhadap produk China melonjak hingga 55%, banyak investor mulai mencari lokasi produksi baru. Indonesia menjadi alternatif menarik. Jika pemerintah mampu menyiapkan infrastruktur dan kebijakan pro-investasi, ini bisa menjadi gelombang relokasi industri terbesar sejak era reformasi,” ujarnya.
Namun, perubahan ini tidak dinikmati semua pihak. Pengusaha besar yang selama ini menempatkan pabriknya di Vietnam atau Guangzhou demi efisiensi biaya kini menghadapi dilema. Relokasi ke Indonesia berarti masuk ke arena baru yang penuh kompetitor, mengurangi kontrol eksklusif mereka terhadap pasar domestik.
Di balik panggung, menurut pengamat hubungan internasional Dr. Shinta Harimurti, situasi ini menyerupai “perang senyap” antara rezim ekonomi lama dan visi pembangunan baru. “Oligarki ini terbiasa bermain di area tanpa kompetisi terbuka. Begitu ada kebijakan yang membuka pasar, justru rakyat dan pelaku UMKM yang berpotensi mendapat manfaat, sementara kelompok elite kehilangan ruang nyaman mereka,” katanya.
Bagi rakyat biasa—petani, nelayan, tukang tempe—dampak langsung mungkin belum terasa sekarang. Namun jika kebijakan ini diikuti dengan program industrialisasi dan penguatan produksi lokal, keuntungan jangka panjang bisa berarti harga pangan yang lebih stabil dan lapangan kerja yang lebih luas.
Perubahan arah angin dagang ini menunjukkan bahwa tarif Trump, yang awalnya dimaksudkan untuk menghukum Asia, justru membuka celah yang dimanfaatkan Indonesia. Prabowo, menurut sejumlah pengamat, membaca peluang ini bukan sekadar untuk meningkatkan ekspor, tetapi juga untuk merombak peta kekuasaan ekonomi di dalam negeri.
Pertanyaannya kini: apakah gelombang ini akan benar-benar mengangkat rakyat, ataukah hanya akan melahirkan oligarki baru yang menggantikan yang lama? Bagi mereka yang selama ini menguasai perut rakyat dan data nasional, satu hal jelas: permainan telah berubah, dan papan catur tak lagi sama seperti dulu.”(timredaksiSF)