sidikfokusnews.com-Tanjungpinang. —
Kejengkelan masyarakat Tanjungpinang atas lambannya penanganan kasus mafia tanah kian memuncak. Sorotan tajam datang dari aktivis Andre Amsi, yang secara terbuka menyuarakan kritik terhadap aparat penegak hukum (APH) yang dinilai belum menunjukkan keseriusan menuntaskan perkara yang sudah lama menyita perhatian publik tersebut.
Menurut Andre, lambannya proses hukum terhadap kasus ini telah menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya sistematis untuk mengulur waktu hingga berujung pada pengabaian kasus. Ia menyoroti status berkas yang masih berada di tahap P19, padahal seharusnya saat ini sudah memasuki fase P21 dan siap disidangkan.
“Kita berharap agar kasus mafia tanah ini segera P21. Kalau masih tetap P19, sangat mungkin ini akan berakhir dengan SP3. Ini mengkhianati harapan masyarakat yang selama ini berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka,” ujar Andre Amsi dalam pernyataannya.
Andre menegaskan bahwa jika dalam waktu dekat tidak ada kejelasan dari pihak kepolisian maupun kejaksaan negeri, maka dirinya bersama sejumlah elemen masyarakat akan menggelar aksi terbuka sebagai bentuk tekanan moral agar kasus ini tidak dibiarkan mengendap.
Dugaan praktik mafia tanah di Tanjungpinang bukan hal baru. Sejumlah laporan masyarakat menyebutkan adanya pemalsuan dokumen, manipulasi sertifikat, hingga praktik jual-beli hak tanah secara ilegal yang melibatkan oknum-oknum kuat. Dampaknya bukan hanya konflik antar warga, tetapi juga kerugian ekonomi yang signifikan.
Pengamat hukum tata negara, menilai bahwa kasus mafia tanah kerap kali tersendat karena kuatnya pengaruh elite lokal yang menyusup dalam proses hukum.
“Ini bukan perkara tunggal. Di balik kasus seperti ini biasanya ada jaringan, ada oknum, dan ada relasi kuasa yang membuat aparat enggan menuntaskan. Bila P21-nya terlalu lama, publik pantas curiga bahwa hukum sedang dinegosiasikan di balik layar.
Ia menambahkan bahwa peran publik menjadi krusial dalam mengawal jalannya proses hukum. Tanpa tekanan dari masyarakat, penanganan kasus besar sering kali akan mengalami stagnasi atau bahkan dihentikan secara diam-diam.
Senada dengan itu, seorang advokat senior di Kepulauan Riau menyampaikan bahwa masyarakat memiliki hak konstitusional untuk mengawal dan menekan agar penegakan hukum berjalan secara adil dan transparan. Ia mengingatkan bahwa hukum yang tunduk pada kekuasaan adalah tanda kemunduran sistem demokrasi.
“Hukum tak boleh kalah oleh negosiasi. Jika publik diam, maka aktor-aktor mafia akan semakin berani. Itu sebabnya aksi damai sebagai kontrol publik sah dan perlu,” tegasnya.
Andre Amsi juga mengingatkan bahwa integritas aparat penegak hukum sedang diuji. Ia mengimbau agar para penegak hukum tidak tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. “Kami sadar tidak mudah mengusut mafia tanah, karena pelakunya bukan orang sembarangan. Tapi kita percaya masih ada aparat yang punya keberanian dan integritas. Jangan tunduk pada tekanan,” katanya.
Andre mendorong agar kepolisian, kejaksaan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersinergi secara terbuka dan terukur dalam menuntaskan perkara ini. Menurutnya, tak cukup hanya menyelesaikan satu dua kasus, tetapi harus dilakukan pembongkaran menyeluruh terhadap jejaring mafia tanah yang telah merusak sistem hukum dan merampas hak masyarakat kecil.
Pakar sosial hukum, juga turut menekankan pentingnya pengawalan masyarakat sipil. Ia menyebut bahwa ketika masyarakat tidak dilibatkan atau bersikap pasif, maka potensi penghentian kasus bisa terjadi lewat jalur-jalur administrasi.
“Tanah adalah soal keberlangsungan hidup. Ketika tanah digeser melalui praktik curang dan dilegalkan dengan dokumen palsu, itu adalah bentuk kekerasan struktural yang sering kali tidak terlihat tapi sangat merusak,”.
Ia mendorong agar dibentuk koalisi sipil anti-mafia tanah yang secara berkelanjutan melakukan pengawasan dan menyuarakan dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Mandeknya kasus mafia tanah tidak bisa hanya dilihat sebagai masalah teknis hukum. Ini adalah cerminan dari runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Jika aparat terus gagal menunjukkan keberpihakan pada keadilan, bukan tidak mungkin akan muncul gejolak sosial sebagai bentuk frustrasi masyarakat.
Sudah saatnya aparat di Tanjungpinang membuktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat. Hukum tidak boleh menjadi alat mainan segelintir orang. Seperti yang disampaikan Andre Amsi, “Jika hukum diam, maka rakyat akan bersuara.”(timredaksiSF)