Jangan merasa masih jua berjaya bila raga sukmamu telah terpenjara bergulung bah kepompong
Kini hanya sisa jasad melompong bah mayat berjalan melolong
Terkerangkeng
Dan ruh meraung tak karuan menembus ambang batas bah anomali anjing kelam nan terhantam di dalam karung
hanya tersisa detakan waktu berhenti nadi berpusaran jantung tergulung
Terkerangkeng
Nanar berkelopak hingga berkalang
berkalung bara api asfala safilin terngiang
membara mengepung
Terkerangkeng
Bah puntung rokok terbuang
terbanting
hina dina jadi tumpuan bernaung
Kamis 10:51, 31 Juli 2025
Maksud dari esensi prosais Puisi ini adalah refleksi tentang keterkungkungan jiwa dalam tubuh yang tampak masih hidup, namun sejatinya telah mati secara spiritual dan moral. “Terkerangkeng” bukan hanya keadaan fisik, melainkan simbol dari jiwa yang terbelenggu oleh keterasingan, kehampaan makna, dosa, dan kehilangan arah hidup.
Penyair menggambarkan manusia yang tampak berjalan dan berfungsi di dunia ini, namun dalam dirinya telah kosong, sunyi, terasing, dan nyaris tidak bernyawa secara hakikat. Ruhnya meraung, melampaui batas kesadaran, menjerit di tengah kegelapan dan keputusasaan. Ia telah jatuh pada titik nadir kehidupan asfala safilin derajat serendah-rendahnya makhluk.
Simbol-simbol seperti “puntung rokok”, “bara api”, dan “mayat berjalan” mencerminkan kehinaan, keterbuangan, dan keterlupaan, di mana manusia hanya menjadi objek yang dipakai, dibuang, dan diinjak. Al-Qur’an surah At-Tin ayat 5, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (ahsani taqwim), kemudian dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (asfala safilin), agar tidak jadi manusia yang asfala safilin,”timredaksiSF