Kelam, bagi banyak orang, hanyalah sekadar kata yang menunjuk pada keadaan gelap, kusam, atau suram. Ia kerap disematkan untuk menggambarkan langit yang mendung, senja yang muram, atau hati yang diselimuti kesedihan. Namun, bagi saya, kelam memiliki lapisan makna yang jauh lebih dalam. Ia adalah kondisi ketika pandangan batin terkunci oleh kekacauan, pikiran dibelit kepanikan, dan logika tak lagi menemukan pijakan. Pada titik itu, kelam berubah menjadi gulita pekat yang mengikat langkah, membutakan mata hati, dan mencekik kesadaran.
Kelam semacam ini tidak hanya hadir dalam bentuk visual, tetapi hidup di wilayah simbol dan makna. Ia sering saya temukan dalam bahasa sastra, baik dalam prosa maupun puisi, bukan sekadar untuk mempercantik diksi, melainkan untuk menyampaikan pesan tajam yang sulit diungkapkan dengan bahasa biasa.
Dalam Goresan Terbagi Kelam, misalnya, kelam menjadi bisikan batin yang mengajak manusia kembali mengingat Tuhan dengan ketulusan murni. Ia menolak menjadi mantra kosong yang tumbuh dari lumpur kesesatan. Di sini, kelam bukanlah penghiburan, melainkan teguran—peringatan bagi mereka yang terlena oleh kebiasaan salah, bahwa waktu kian sempit sementara pusaran kesalahan semakin mencekik.
Ada pula Menanti Gulai Hitam, yang di permukaan mungkin terdengar remeh, namun sesungguhnya menyimpan sindiran getir. Gulai hitam adalah lambang dari harapan yang tak mungkin terwujud. Menunggu sesuatu yang telah musnah sama artinya dengan memeluk kehampaan. Dalam kisah ini, kelam adalah latar pekat yang membungkus sia-sia.
Sementara Remukan Bah Keledai mengajarkan bahwa kelam juga bisa menjadi peringatan keras tentang kesombongan yang rapuh. Ada mereka yang tampak gagah di luar, namun di dalamnya keropos dan penuh luka. Peringatan Al-Qur’an tentang buruknya suara keledai bukan hanya menyentuh nada, tetapi juga menegur sikap hidup: jangan melangkah dengan angkuh, jangan bersuara dengan kesombongan yang memekakkan.
Penutupnya hadir dalam Sembarangan. Di sini, kelam adalah konsekuensi dari kecerobohan. Ia menjadi tanda akhir perjalanan hidup, dilambangkan dengan bendera kuning atau warna duka lainnya yang berkibar di depan rumah. Sebuah pesan bahwa hidup berakhir, dan setiap langkah sembrono hanya akan mempercepat tibanya tanda itu.
Kelam, dalam seluruh wajahnya, adalah guru yang tak kenal basa-basi. Ia mengajarkan bahwa hidup memerlukan kesadaran, kerendahan hati, dan kewaspadaan. Kita boleh saja memaknainya sebagai suasana hati, warna langit, atau lambang batin, tetapi kelam selalu menuntut satu hal: jangan sampai kita tersesat terlalu jauh, hingga cahaya yang tersisa tak lagi sanggup menembus pekatnya gulita.” timredaksiSF
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 72