sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.—
Kritik tajam kembali disuarakan oleh aktivis sosial dan pemerhati kebijakan publik, Said Ahmad Syukri (Sasjoni), terkait buruknya transparansi harga dalam program-program intervensi pangan seperti operasi pasar dan pasar murah. Menurutnya, ketidakhadiran daftar harga satuan yang jelas membuka ruang praktik manipulasi dan menyulitkan masyarakat menilai efektivitas kebijakan pemerintah.
“Kalau hanya ditulis ‘harga di bawah pasar’, itu bukan data. Itu klaim. Masyarakat tak bisa membandingkan harga pasar dan harga intervensi kalau daftarnya tidak diumumkan. Jadi siapa sebenarnya yang ngatur harga?” kritik Sasjoni.
Ia juga menyoroti fenomena fluktuasi harga pangan yang kerap melonjak ketika tidak ada intervensi pasar. Menurutnya, jika pemerintah mampu menurunkan harga secara drastis saat pasar murah, itu menjadi bukti bahwa harga sebelumnya sengaja dibiarkan tinggi.
“Kalau saat pasar murah harga bisa diturunkan, artinya sebelumnya rakyat bayar lebih mahal dari seharusnya. Ini bukan kegagalan pasar, ini kelalaian negara!”
Sasjoni mengangkat fenomena merek-merek beras murah yang kerap berganti-ganti nama dan menghilang dari pasaran secara tiba-tiba. Ia mencontohkan kasus beras “PHP” yang sempat beredar lalu ditarik tanpa alasan jelas. Bahkan di Batam, kata dia, banyak beras “menghilang sebelum musim pemilu”.
“Kalau mendekati pilkada, muncul merk baru, kadang pakai foto paslon. Ini bukan sistem pangan, ini sistem branding politik! Pemerintah jangan main-main dengan perut rakyat,” ujar Sasjoni sinis.
Kekhawatiran publik semakin diperparah dengan terungkapnya kasus pengoplosan beras oleh Polda Riau. Dalam operasi yang dilakukan di Pekanbaru, polisi berhasil mengamankan hampir 10 ton beras oplosan yang dikemas ulang dalam karung-karung merek resmi seperti SPHP, Aira, Family, Anak Dara Merah, dan Kuriak Kusuik.
“Pelaku membeli beras kualitas rendah, mencampurnya dengan beras berkualitas buruk, lalu mengemas ulang untuk dijual seolah-olah itu beras berkualitas. Ini bukan hanya penipuan, ini ancaman ketahanan pangan,” ungkap Dirreskrimsus Polda Riau dalam konferensi pers.
Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap distribusi pangan bersubsidi, serta dugaan adanya mata rantai distribusi yang tidak steril dari praktik mafia pangan.
Dr. Rinaldi Harahap, pakar ekonomi pertanian dari Universitas Andalas, menilai bahwa kelemahan sistem transparansi harga dan lemahnya pengawasan distribusi pangan bersubsidi telah memperbesar kesenjangan antara klaim pemerintah dan kenyataan di lapangan.
“Ketika harga bisa diatur dalam momen politik atau proyek-proyek intervensi, itu artinya harga tidak mencerminkan mekanisme pasar, tetapi kehendak institusi. Pemerintah harus membuat dashboard harga pangan nasional yang real-time dan terbuka untuk publik,” ujarnya.
Rinaldi juga mendorong peran aktif Satgas Pangan dalam mengawasi jalur distribusi dan memastikan tidak ada penyalahgunaan merek dan kuota beras murah oleh pelaku nakal.
Presiden Minta Tindak Tegas “Serakahnomics”. Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menegaskan pentingnya menjaga ketahanan pangan nasional dan memerangi apa yang ia sebut sebagai praktik “serakahnomics”—istilah untuk menggambarkan perilaku rakus pelaku usaha atau oknum birokrasi yang mempermainkan harga demi keuntungan pribadi.
“Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tapi juga soal moral dan keberpihakan. Jangan rakyat terus-menerus dikorbankan,” tegas Presiden.
Harga Bisa Diatur, Tapi Siapa yang Bertanggung Jawab?
Fenomena harga pangan yang fluktuatif, transparansi harga yang minim, merek yang hilang timbul, hingga kasus beras oplosan adalah sinyal bahwa sistem pengelolaan pangan kita masih jauh dari ideal. Pemerintah tampak hadir secara seremonial, namun gagal dalam hal yang paling mendasar: melindungi hak konsumen atas pangan yang layak dan terjangkau.
Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan ketat adalah kunci utama. Jika tidak, publik hanya akan menjadi korban dari sandiwara pangan yang terus diulang setiap musim pemilu.”(timredaksiSF)