banner 728x250

Refleksi Agus M. Maksum: Dari Sistem ke Spirit, Indonesia Mencari Kembali Jiwa Bernegaranya

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Jakarta.—
Di tengah gempuran krisis multidimensi—hukum yang gaduh, ekonomi yang timpang, dan politik yang makin transaksional—sebuah esai dari tokoh nasional Agus M. Maksum menyentak ruang batin kebangsaan. Esai itu tidak menyodorkan analisis teknokratis, melainkan sebuah pertanyaan mendasar yang menembus jantung persoalan: untuk siapa sebenarnya sistem negara dibangun?

banner 325x300

Agus mengurai sejarah panjang peradaban manusia—dari masa kerajaan, kolonialisme, hingga zaman digital yang kini dikendalikan oleh algoritma dan kecerdasan buatan. Di balik kemajuan sistem, katanya, tersembunyi ironi besar: manusia menciptakan sistem demi hidup bersama, tapi sistem itu kerap berbalik menjadi alat penindas. “Sistem berganti, kekuasaan berubah nama, tapi yang tertindas tetap sama,” tulis Agus. “Umat berganti zaman, tapi derita rakyat tidak berubah.”

Refleksi ini seolah menjadi cermin gelap yang menggugah satu pertanyaan kritis: apakah Indonesia sedang mencari kembali jati dirinya dalam konsep bernegara? Dan apakah inisiatif seperti Majelis Permusyawaratan Ulama Indonesia Internasional (MPUII) hadir sebagai jawaban atas krisis nilai ini?

Dr. Muhammad Iqbal Al-Khatib dari UIN Jakarta menilai, gagasan Agus mengingatkan bangsa bahwa negara bukan sekadar sistem prosedural, melainkan organisme yang seharusnya memiliki jiwa. “Yang membedakan negara dari mesin adalah empati,” ujarnya. Ia memperingatkan, ketika negara dijalankan seperti algoritma tanpa nurani, maka kita akan kembali ke zaman Firaun, di mana yang kuat menindas yang lemah. Dalam pandangannya, MPUII muncul bukan sebagai forum fatwa semata, melainkan sebagai ruang untuk menegaskan maqashid syariah—lima prinsip dasar yang melindungi hak semua warga, termasuk non-Muslim.

Sementara itu, Prof. Dr. Amin Abdullah, filsuf Islam moderat dari Yogyakarta, menyebut refleksi Agus sebagai peringatan akan bahaya glorifikasi sistem tanpa etika publik. “Kita punya konstitusi, punya pemilu, tapi kehilangan moralitas dalam penyelenggaraan,” katanya. Ia menilai bahwa Indonesia sedang berada di persimpangan jalan antara ketertiban prosedural dan kehampaan substansial. Bagi Prof. Amin, MPUII dapat menjadi pelopor moderasi bukan hanya dalam agama, tetapi juga dalam kekuasaan—agar negara tetap berpijak pada hati nurani, bukan hanya kalkulasi kekuasaan.

Dr. Rifa’at Syauqi Hasyim menegaskan bahwa yang diperjuangkan MPUII bukanlah sistem baru, melainkan semangat untuk menghadirkan kembali nilai dalam tubuh negara. “Kita tidak butuh sistem syariah, demokrasi, atau sosialisme yang hampa. Kita butuh negara yang bernilai, yang mau mendengar jeritan fakir, bukan rating elektoral,” katanya tajam. Ia menggarisbawahi bahwa antara wahyu dan kebijakan, antara spiritualitas dan regulasi, harus ada jembatan nilai yang menyatukan.

Lebih jauh lagi, Dr. Andi Ridwan Salam, pakar konstitusi, mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia—khususnya UUD 1945—sejatinya sudah kaya dengan nilai luhur. “Pasal 27, 28, 33 dan lainnya bukan sekadar norma hukum, melainkan kompas moral,” tegasnya. Menurutnya, krisis kita bukan terletak pada rumusan sistem, tapi pada pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar itu sendiri.

Esai Agus M. Maksum menyuguhkan semacam “alarm moral” bahwa sejarah bukan hanya tentang pergantian rezim atau bentuk kekuasaan, melainkan perubahan hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Ketika sistem hanya berganti nama—dari kerajaan ke republik, dari militer ke sipil—tanpa perubahan nilai, maka yang kita alami hanyalah sirkulasi topeng, bukan transformasi jiwa bangsa.

Dalam konteks itu, inisiatif seperti MPUII dan berbagai gerakan moral lainnya menjadi penting bukan karena mereka mengusulkan sistem baru, tetapi karena mereka mengusulkan kesadaran baru: bahwa negara sejatinya harus hadir untuk melayani, bukan sekadar mengatur; harus mengayomi, bukan mengeksploitasi; dan harus menjadi wajah kemanusiaan, bukan hanya hukum yang dingin.

“Karena yang hilang dari negara kita bukan sistem. Tapi hati.”(timredaksiSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *