sidikgokusnews.com-anjungpinang. —
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia tahun ini mengangkat tema nasional yang sarat makna: “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Bagi Ir. M. Nazar Machmud, seorang tokoh senior pembangunan daerah, komponen angkatan 66 ITB, dan Penasihat Badan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, tema tersebut bukan sekadar susunan kata seremonial, tetapi cerminan arah dan semangat pembangunan nasional yang harus dibaca secara kritis dan reflektif.
Urutan kata “Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Menurutnya, meskipun sepintas terkesan sama bila dibalik menjadi “Indonesia Maju, Rakyat Sejahtera”, dua versi itu membawa konsekuensi logika pembangunan yang berbeda secara fundamental. Pernyataan pertama menunjukkan bahwa kesejahteraan rakyat adalah fondasi utama bagi kemajuan bangsa. Sedangkan pernyataan kedua berisiko mengulang pola lama: menomorsatukan pertumbuhan ekonomi nasional tanpa memastikan distribusinya menyentuh rakyat kecil.
Bagi Nazar Machmud, urutan kata itu adalah sinyal dari upaya keluar dari stereotip lama dan paradigma ekonomi yang terlalu elitis. Pendekatan “rakyat dahulu, negara kemudian” adalah bentuk kesadaran baru bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan individu adalah prasyarat niscaya bagi kemajuan negara secara keseluruhan. Inilah substansi dari amanat luhur Konstitusi 1945 yang menempatkan kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa sebagai cita-cita utama kemerdekaan.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa paradigma lama yang dibaliknya berbunyi “Indonesia Maju, Rakyat Sejahtera” selama ini dijalankan melalui pendekatan ekonomi kapitalis yang eksploitatif. Dalam pendekatan tersebut, keberhasilan diukur dari peningkatan angka makro seperti pertumbuhan PDB dan arus masuk investasi asing, tanpa melihat siapa yang menikmati hasilnya. “Dalam praktiknya,” tulis M. Nazar Machmud, “rakyat miskin kerap jadi korban pembangunan: digusur, ditekan, dan kehilangan ruang hidupnya.”
Ia mengutip filsuf Yunani kuno, Thucydides, yang berkata “The strong will do what they can, the weak will suffer what they must.” Nazar menyebut kalimat itu sebagai cermin ketimpangan kekuasaan dalam sistem kapitalisme, Maka menurut Nazar, momen kemerdekaan ini harus menjadi ajakan untuk mengubah arah: dari sistem yang menindas menjadi sistem yang menyejahterakan.
Paradigma konvensional yang telah dijalankan sejak 1973, menurut M. Nazar Machmud, perlu dikaji ulang secara menyeluruh. Liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan ketergantungan pada investasi asing telah menciptakan ketimpangan struktural yang nyata. Ia menyebut bahwa industri yang dibanggakan sebagai penggerak pertumbuhan, dalam kenyataannya, belum mampu menyerap tenaga kerja lokal secara adil. Syarat-syarat rekrutmen yang tinggi, ketimpangan kualitas SDM, dan masuknya tenaga kerja dari luar daerah menjadikan banyak warga lokal tetap menganggur.
Sorotan hasil temuan Bank Dunia terbaru yang menunjukkan bahwa 68% rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan versi internasional—yakni berpenghasilan di bawah Rp55.000 per orang per hari. Angka ini menurutnya mencerminkan kegagalan sistem untuk menciptakan kesejahteraan nyata bagi rakyat, terutama di luar Pulau Jawa.
Ir.M.Nazar Machmud mengajukan pendekatan integral berbasis rumus sederhana Domestik Bruto (PDB), yaitu:
PDB = C + I + G + (X – M)
dengan C = konsumsi rumah tangga, I = investasi, G = pengeluaran pemerintah, X = ekspor, dan M = impor.
Dalam aspek konsumsi rumah tangga, Nazar menegaskan bahwa daya beli masyarakat hanya bisa tumbuh jika mereka memiliki penghasilan. UMKM dan koperasi harus diberdayakan secara serius sebagai jalan keluar bagi para pencari kerja yang tak tertampung dalam sektor formal. Prinsipnya sederhana: “Lebih baik sakit bekerja daripada sakit mencari kerja.”
Dalam aspek investasi, Nazar mengakui pentingnya kehadiran investor asing, namun ia menekankan bahwa investasi harus bersyarat. Investor yang ideal adalah mereka yang memprioritaskan tenaga kerja lokal, mau bermitra dengan UMKM, menjaga lingkungan, dan bersedia melakukan alih teknologi. Investasi semacam itu bukan hanya menambah angka PDB, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal.
Ekspor, Nazar menilai ketergantungan Indonesia pada jalur perdagangan yang dikontrol oleh negara lain, terutama Singapura, harus segera diatasi. Ia mengusulkan pembangunan hub port kontainer di wilayah strategis seperti Kepulauan Riau agar produk lokal bisa langsung diekspor ke pasar global tanpa perantara, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di jalur pelayaran internasional.
Sementara dalam kebijakan impor, Nazar mengingatkan pentingnya proteksi terhadap sektor-sektor strategis nasional seperti pangan dan energi. Menurutnya, kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan prinsip “Pangan Aman, Negara Aman” adalah langkah yang patut diperkuat dan dilanjutkan.
Lebih dari sekadar teknis ekonomi, Nazar menekankan bahwa arah pembangunan harus kembali pada nilai-nilai luhur Konstitusi 1945, yang ditulis dengan darah dan air mata oleh para pendiri bangsa. Ia menutup refleksinya dengan peringatan bahwa sistem ekonomi kapitalis yang saat ini dijalankan, dan tertuang dalam UUD hasil amandemen 2002, telah terlalu jauh melenceng dari semangat proklamasi dan keadilan sosial.
Bertolak belakang 180 derajat dengan cita-cita proklamasi. Proklamasi yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Diperingati dengan upacara yang kaya seremoni tapi miskin dan membelakangi Konstitusi.”timredaksi-SF)