sidikfokusnews.com – Batam — Menjelang Musyawarah Besar (Mubes) Persatuan Muballigh Batam (PMB), percakapan di kalangan tokoh muballigh, pengurus, dan anggota komunitas semakin menghangat. Forum-forum diskusi, baik tatap muka maupun di grup komunikasi, menjadi ajang bertukar pandangan mengenai dinamika pemilihan ketua, strategi kandidat, hingga refleksi mendalam terkait arah dakwah dan pemberdayaan umat.
Percakapan awal diwarnai gurauan bernuansa politik ketika dua tokoh sentral disebut-sebut memiliki peluang besar jika bersatu, karena diyakini akan “diterima langit dan didukung bumi, bulan, bintang, serta pasir di lautan.” Meski demikian, sejumlah peserta menggarisbawahi bahwa belum semua figur potensial masuk dalam putaran utama, sehingga spekulasi strategi dan siasat politik pun mengemuka.
Sejumlah anggota menyoroti fenomena bakal calon ketua (balon) yang jarang muncul untuk bersosialisasi di forum, memunculkan tanda tanya apakah hal tersebut merupakan bagian dari strategi atau justru kelemahan komunikasi politik. Panitia pelaksana Mubes pun diminta untuk memberikan penjelasan terkait kesiapan dan susunan kepengurusan.
Salah satu pesan yang mengemuka adalah pentingnya seorang ketua terpilih kelak untuk memberdayakan sekretariat PMB, khususnya Tiban Centre, agar mampu menghasilkan pendapatan dan memperkuat aset organisasi demi kepentingan umat. Namun, pengamat internal PMB mengingatkan bahwa proses pemilihan ketua di tingkat kota berbeda dengan kecamatan: arus bawah sering kali berpengaruh di tingkat kecamatan, sementara arus atas—yang melibatkan restu para pendiri, penguasa eksekutif, dan legislatif—cenderung menentukan hasil di tingkat kota.
Maryono, salah satu tokoh senior, menegaskan bahwa kandidat yang mampu meraih dukungan baik dari arus atas maupun arus bawah akan memiliki peluang terbesar. Ia mengungkapkan realita bahwa sebagian besar ketua kecamatan adalah pegawai negeri yang sulit melawan arahan atasan, sehingga hanya beberapa figur dari kalangan swasta yang memiliki keleluasaan manuver. “Kalau para pendiri dan penguasa sepakat menunjuk satu nama, Mubes bisa menjadi formalitas belaka,” ujarnya.
Di tengah pembahasan strategi politik, muncul pula refleksi moral dan religius. Beberapa tokoh menekankan pentingnya menjaga tujuan hidup, menata hati, dan menjadikan seluruh aktivitas sebagai ibadah. Ada pula yang mengingatkan tantangan godaan kekuasaan yang kerap mengaburkan batas antara kepentingan agama dan kepentingan politik praktis.
Isu sosial-ekonomi pun turut mengisi diskusi. Masalah pengangguran dianggap sebagai bencana yang memerlukan penanganan serius melalui pelatihan keterampilan, akses modal, dan pendampingan usaha. Contoh seperti program Rumah Zakat yang bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk meningkatkan ekonomi umat, disebut sebagai model pemberdayaan yang patut diadopsi PMB.
Akhir percakapan diwarnai pesan untuk kembali memurnikan dakwah pada tiga pilar utama: memperkuat iman, menumbuhkan takwa, dan membina akhlakul karimah. Dengan penekanan yang konsisten pada tiga hal ini, para muballigh yakin umat akan kembali pada fitrah kesuciannya, terhindar dari polarisasi politik yang memecah belah, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Mubes PMB tahun ini bukan sekadar ajang pemilihan ketua. Ia menjadi cermin dinamika organisasi, uji kematangan politik internal, serta kesempatan emas untuk menegaskan kembali misi dakwah yang berpihak pada pemberdayaan umat dan penjagaan moral. Dalam suasana yang penuh strategi, lobi, dan wacana besar, para tokoh diingatkan untuk tidak melupakan substansi perjuangan: mengabdi kepada masyarakat dengan keikhlasan, integritas, dan visi kemaslahatan yang nyata. (Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 67