banner 728x250
Hukum  

Kisruh MT Arman 114: Gugatan Berlapis, Mafia Kasus, dan Ancaman terhadap Wibawa Peradilan Maritim Indonesia

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Jakarta. — Kasus kapal tanker MT Arman 114 tak lagi sekadar perkara pidana lingkungan hidup. Ia telah berubah menjadi krisis hukum multidimensi: mencakup sengkarut antara pidana dan perdata, penyitaan kapal dan muatan, hingga gugatan berlapis yang berpotensi merusak reputasi sistem peradilan Indonesia di mata dunia.

banner 325x300

Praktisi Hukum senior, M. Fadil Hasan, SH., menegaskan bahwa langkah negara menyita kapal beserta muatan minyak tanpa dasar legal yang jelas, tanpa memisahkan antara tanggung jawab pidana nakhoda dan hak perdata pemilik kapal, dapat menjadi preseden buruk. “Negara tidak serta merta memiliki hak milik atas kapal dan muatannya, hanya karena ada dugaan pencemaran. Yang seharusnya bertanggung jawab adalah kapten kapal yang mengoperasikannya,” ujarnya.

Menurut Fadil, penyitaan total terhadap kapal dan muatan telah melanggar prinsip dasar hukum laut internasional yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam banyak yurisdiksi, termasuk hukum maritim internasional, tanggung jawab pencemaran laut ditujukan pada pengoperasi kapal (operator) atau nakhoda—bukan pemilik kapal, kecuali ada bukti kuat kelalaian sistemik.

Kekeliruan Prosedur dan Dualisme Gugatan,salah satu persoalan krusial adalah soal siapa yang memiliki legal standing dalam gugatan terhadap penyitaan tersebut. Pemilik kapal berhak mengajukan gugatan terhadap negara atas penyitaan aset, sementara pemilik muatan (dalam hal ini minyak) tidak bisa mengajukan gugatan terpisah, karena secara prinsip muatan merupakan tanggung jawab kapal selama pelayaran.

Fadil menyoroti fakta bahwa gugatan sebelumnya dinyatakan obscuur libel—atau kabur—oleh pengadilan. Namun, ia menekankan bahwa gugatan tersebut bukan berarti gugur secara mutlak, melainkan dapat diajukan ulang setelah diperbaiki redaksional dan fondasi hukumnya. “Ini penting untuk mencegah gugatan palsu atau fiktif yang dibuat atas nama pihak yang tidak memiliki kapasitas hukum. Jika dibiarkan, sistem hukum kita bisa menjadi alat permainan pihak tertentu,” tegasnya.

Di tengah situasi ini, muncul kejanggalan dalam pendekatan hukum yang kabur antara aspek pidana dan perdata. Aspek pidana berkaitan dengan dugaan pencemaran lingkungan oleh kapal, yang dalam hal ini menyeret kapten sebagai tersangka. Namun, aspek perdata—termasuk penyitaan aset kapal dan muatan—harus dilihat dari kacamata yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan.

“Jika kapten kapal terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup, maka itu ranah pidana personal. Namun tidak ada dasar hukum untuk menyita kapal beserta isinya dan kemudian tidak mengembalikannya kepada pemilik sah, tanpa putusan perdata yang menyatakan kehilangan hak kepemilikan,” ujar pakar hukum lingkungan dari Universitas Hasanuddin, Dr. Nurul Qodim.

Dugaan Mafia Kasus dan Praktik “Gugatan Titipan” yang membuat perkara ini semakin kompleks adalah dugaan adanya praktik mafia hukum: munculnya gugatan yang diajukan oleh pihak yang tidak memiliki legalitas, penggunaan kuasa hukum yang tidak berdasar, serta upaya sistematis untuk menahan aset kapal melalui manuver hukum yang tidak transparan.

Beberapa pengamat menyebutnya sebagai gugatan pesanan. Advokat HAM dan arbitrase internasional, Endang Purwaningsih, menyatakan bahwa kasus ini memiliki pola serupa dengan skema asset hijacking yang pernah terjadi dalam sengketa internasional. “Kondisinya sangat sensitif. Jika terbukti ada pelanggaran prinsip due process of law, Indonesia bisa digugat di tribunal internasional, baik melalui arbitrase London maupun forum UNCLOS,” katanya.

Ancaman terhadap Kredibilitas Peradilan Indonesia. Dampaknya bisa sangat serius. Jika dunia internasional melihat bahwa Indonesia tidak mampu menjamin perlindungan hukum yang adil dalam kasus pelayaran dan lingkungan maritim, hal ini akan menurunkan kredibilitas yudisial Indonesia di mata investor dan mitra dagang maritim.

“Perlu langkah cepat dan transparan untuk memisahkan jalur pidana dan perdata, memverifikasi status kepemilikan, serta memastikan bahwa proses hukum tidak disabotase oleh aktor tak bertanggung jawab. Ini menyangkut wajah hukum Indonesia di panggung global,” ujar pengamat hukum internasional dari Paramadina, Dr. Dimas Arya Saputra.

Ruang Solusi: Audit Yudisial dan Jalur Diplomasi. Sebagian kalangan mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk turun tangan mengaudit jalannya proses hukum dalam perkara MT Arman 114, khususnya untuk memeriksa indikasi penyimpangan prosedur dan manipulasi kewenangan hukum.

Sementara itu, opsi penyelesaian melalui jalur diplomatik dan arbitrase internasional juga mulai dipertimbangkan oleh tim hukum kapal dan sejumlah negara asal perusahaan pelayaran yang merasa dirugikan. Jika Indonesia tak segera menegakkan prinsip rule of law dalam kasus ini, bukan tidak mungkin reputasi sektor maritim nasional terancam embargo informal.

Kasus MT Arman 114 kini telah melampaui sekadar urusan pencemaran laut. Ia menjadi cermin rapuhnya sistem hukum nasional dalam menghadapi kompleksitas lintas yurisdiksi, dan ujian nyata atas integritas lembaga peradilan maritim Indonesia.

Apakah Indonesia mampu memperbaiki citra dan menegakkan keadilan sesuai kaidah hukum internasional? Atau justru membiarkan kasus ini menjadi preseden negatif yang membuka ruang lebih besar bagi intervensi asing dan gugatan lintas negara? Jawabannya akan menentukan arah tata kelola hukum laut dan kepercayaan dunia pada supremasi hukum di tanah air.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *