sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.—Sebuah pertemuan hangat keluarga besar Anambas yang digelar di Morning Bakri, Tanjungpinang, menyuguhkan lebih dari sekadar nostalgia. Acara itu berubah menjadi ruang refleksi kolektif, tempat identitas, cita-cita daerah, dan harapan akan kemajuan disatukan oleh rasa kekeluargaan dan tanggung jawab moral terhadap tanah kelahiran.
Di tengah keakraban yang sarat makna, Dr. Azwardi, SE., MM., menyampaikan keresahan sekaligus optimisme terhadap arah organisasi Kerukunan Keluarga Kepulauan Anambas (K3A), yang akan segera dikukuhkan secara resmi pada Agustus 2025 mendatang. Dalam pandangannya, K3A memegang peran strategis untuk menyatukan kekuatan diaspora Anambas, namun masih belum dimaksimalkan sebagai motor sosial dan kultural untuk mendorong kemajuan daerah.
“Kita melihat bagaimana Sumatera Barat, Riau, atau KKSS dan lain-lainnya bisa begitu solid karena militansi warganya. Mereka tidak hanya berkumpul, tapi tampil dengan budaya dan inovasi. Sementara kita, terlalu banyak waktu habis untuk tugas-tugas rutin,” tegas Azwardi, menyoroti perlunya arah baru yang berorientasi pada promosi potensi daerah.
Menurutnya, pengurus K3A saat ini diisi oleh hampir 70 persen pejabat aktif dari tingkat kota dan provinsi—modal kuat yang seharusnya mampu menggerakkan diplomasi budaya dan ekonomi untuk Anambas. Ia mendorong agar agenda-agenda K3A ke depan tidak sekadar seremonial, tapi juga menghadirkan kegiatan nyata: pertunjukan budaya, festival kuliner, pameran pariwisata, dan dialog lintas generasi yang mengangkat nilai-nilai lokal ke level nasional.
Mendampingi pernyataan itu, Senator DPD RI dari Kepulauan Riau, H. Darma Setiawan, membagikan kisah pribadinya dengan penuh ketulusan dan kedalaman emosional. Ia mengisahkan perjalanan politiknya yang selama tujuh tahun penuh tantangan, serta bagaimana darah Anambas mengalir dalam keluarganya melalui sang istri, putri dari almarhum Haji Jamaludin, tokoh besar keluarga Anambas.
“Setengah darah anak saya berasal dari Anambas. Jadi, Anambas bukan hanya tempat bagi saya, tapi rumah. Saya datang bukan sebagai tamu,” ujarnya dengan suara bergetar, disambut tepuk tangan hadirin.
Darma mengakui adanya penolakan pada awal kiprahnya di dunia politik, namun ia memilih menjawabnya bukan dengan polemik, melainkan dengan kinerja. Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat Kepulauan Riau khususnya Anambas di dua pemilu terakhir menjadi bukti bahwa konsistensi dan karya lebih penting daripada pencitraan. “Saya tidak punya Facebook, tidak punya Instagram, tidak main TikTok. Saya bekerja manual,” ujarnya merendah, namun sarat pesan tentang integritas dan keikhlasan.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti pentingnya energi besar untuk mimpi besar. Ia meminta generasi muda Anambas untuk tidak cepat menyerah, tidak mudah tersinggung, dan terus bekerja dengan ketekunan yang jujur. “Jangan berpikir bisa capai sesuatu yang luar biasa dengan tenaga yang biasa-biasa saja,” tegasnya.
Pengamat budaya dan identitas lokal dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Dr. Suhaimi Zainuddin, menggarisbawahi bahwa kekuatan organisasi seperti K3A terletak pada kemampuannya membangun jaringan yang hidup dan produktif. “Kita tidak kekurangan sumber daya manusia. Yang kita butuhkan adalah arah gerakan yang terukur. K3A bisa belajar dari model diaspora lainnya yang menjadikan budaya sebagai diplomasi lunak dan alat advokasi daerah di pusat,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Rani Anggraeni, sosiolog dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa narasi pribadi seperti yang disampaikan Darma Setiawan bukan sekadar cerita keluarga, tetapi bagian penting dari politik kultural yang sedang tumbuh di Indonesia. “Ketika identitas dibangun dari keterhubungan emosional, bukan semata jabatan, maka lahir politik yang humanis. Politik yang berakar pada rasa memiliki dan cinta pada kampung halaman,” ujarnya.
Rani menambahkan bahwa kekuatan seperti keluarga besar Anambas bukan hanya jaringan sosial, tetapi juga basis legitimasi politik dan pembangunan, selama digunakan dengan prinsip inklusif dan komitmen kolektif. “Tidak semua kekuatan harus formal. Kadang yang paling berdaya justru lahir dari hubungan yang organik,” katanya.
Kepulauan Anambas sendiri dikenal sebagai wilayah dengan potensi maritim, perikanan, wisata bahari, dan budaya Melayu yang kuat. Namun selama ini, gaungnya masih tertinggal dari daerah lain. Baik Azwardi maupun Darma sepakat bahwa saatnya Anambas berhenti diam, dan mulai berbicara—bukan dengan retorika, tapi dengan aksi.
Di akhir acara, Darma menyampaikan rencananya untuk membuka rumahnya di Tanjungpinang sebagai pusat silaturahmi warga Anambas. “Saya ingin keluarga besar Anambas datang, bukan sebagai tamu, tapi sebagai tuan rumah di rumah saya,” ucapnya, menyiratkan komitmen untuk tidak hanya hadir secara simbolis, tapi juga menjadi penggerak di balik layar.
Pertemuan keluarga besar ini menjadi pengingat bahwa kemajuan sebuah daerah tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Ia membutuhkan simpul-simpul kekerabatan, jaringan emosional, dan keberanian untuk bermimpi besar. Dalam dunia yang makin cepat dan penuh gangguan, rasa memiliki dan loyalitas pada akar budaya justru menjadi kekuatan yang tak tergantikan.
Dari Morning Bakry, suara Anambas kembali digaungkan. Tidak hanya sebagai kabupaten kepulauan di tengah lautan, tetapi sebagai rumah besar yang siap merumuskan masa depan lewat tangan-tangan warganya sendiri—dengan cinta, kerja nyata, dan keberanian bermartabat. “(Arf)