sidikfokusnews.com – Batam, 27 Juli 2025 — Alun-alun Engku Puteri, yang biasanya dipadati warga Batam untuk berolahraga pagi, berubah menjadi arena kebahagiaan anak-anak pada Minggu pagi yang cerah. Ratusan anak binaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Batam berkumpul untuk memperingati Hari Anak Nasional (HAN) 2025 dalam sebuah kegiatan yang dirancang tak sekadar seremonial, melainkan menyentuh sisi esensial dari hakikat masa kanak-kanak: bermain, belajar, dan mencipta kebersamaan.
Mengusung tema nasional “Anak Hebat, Indonesia Kuat, Menuju Indonesia Emas 2045”, peringatan HAN yang diinisiasi oleh LAZ Batam ini menghadirkan semangat baru dalam cara masyarakat memandang peran anak sebagai generasi penerus bangsa. Dalam suasana yang penuh tawa dan antusiasme, anak-anak diajak melepas sejenak ketergantungan terhadap gawai melalui gerakan “Sehari Tanpa Gadget”, yang menjadi pesan utama kegiatan tersebut.
Ketua LAZ Batam, Syarif, menyampaikan bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah memberikan ruang aktualisasi bagi anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Lebih dari itu, kegiatan ini juga menjadi pengingat kolektif bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat luas tentang pentingnya memperhatikan hak-hak anak secara utuh: mulai dari hak untuk bermain, mendapat pendidikan, perlindungan, hingga partisipasi dalam kehidupan sosial.
“Anak-anak adalah cerminan masa depan bangsa. Mereka tidak boleh tumbuh dalam isolasi digital. Hari ini, kami ingin menunjukkan bahwa dunia nyata jauh lebih indah ketika mereka berinteraksi, berlari, tertawa, dan merasakan kehangatan bersama keluarga dan teman-temannya,” ungkap Syarif di tengah keramaian yang memadati area acara.
Kegiatan diawali dengan senam bersama yang penuh semangat, disusul dengan berbagai permainan tradisional seperti gobak sodor, tarik tambang, engklek, dan bakiak. Permainan-permainan ini tidak hanya menghadirkan keceriaan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan, kerja sama, dan sportifitas. Anak-anak terlihat begitu menikmati setiap momen, seolah hari itu menjadi oase di tengah rutinitas digital yang selama ini membatasi gerak tubuh dan kreativitas mereka.
Bukan hanya anak-anak yang larut dalam suasana bahagia. Para orang tua yang turut mendampingi pun merasakan dampaknya. Salah seorang ibu, Lestari (36), mengaku tersentuh melihat anaknya bisa bermain aktif tanpa ponsel di tangan. “Biasanya anak saya susah lepas dari HP. Tapi hari ini, dia bisa lari-larian, main sama teman-temannya, dan tertawa lepas. Saya merasa ini lebih dari sekadar acara, ini terapi sosial untuk anak-anak kita,” ujarnya haru.
Selain menjadi ajang rekreasi dan edukasi, peringatan Hari Anak Nasional versi LAZ Batam ini juga menekankan pentingnya kembali mengenalkan budaya lokal melalui permainan tradisional yang mulai terlupakan. Di tengah arus digitalisasi yang masif, anak-anak dikenalkan pada kekayaan warisan budaya bangsa yang menyimpan filosofi luhur tentang kerja tim, kejujuran, dan solidaritas.
Menurut pengamat pendidikan anak dan keluarga, Dr. Rini Kartikasari yang turut hadir sebagai narasumber, kegiatan semacam ini memiliki dampak jangka panjang terhadap pembentukan karakter anak. “Saat anak-anak diajak bermain secara langsung dan mengalami interaksi sosial, mereka belajar mengelola emosi, membangun empati, dan memahami nilai kolaborasi. Hal-hal ini tidak bisa diperoleh secara instan melalui layar gadget,” paparnya.
Gerakan “Sehari Tanpa Gadget” yang digaungkan oleh LAZ Batam dalam momentum HAN ini pun mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Banyak yang berharap agar kegiatan serupa dapat dilakukan secara rutin, tidak hanya dalam peringatan tahunan, melainkan menjadi gerakan sosial lintas komunitas dan instansi, sebagai bentuk perhatian nyata terhadap masa depan generasi muda.
Kegiatan ditutup dengan pembagian hadiah dan bingkisan kepada peserta yang mengikuti permainan dengan semangat tinggi. Namun lebih dari sekadar hadiah fisik, yang terpenting adalah pengalaman yang tertanam dalam ingatan mereka—pengalaman yang menumbuhkan keceriaan, semangat hidup sehat, dan interaksi yang penuh kasih sayang.
Hari itu, di bawah langit Batam yang cerah, anak-anak tak hanya bermain. Mereka sedang membangun harapan. Mereka sedang ditemani tumbuh sebagai pribadi tangguh yang akan memimpin Indonesia menuju 2045—sebuah Indonesia yang kuat, adil, dan beradab. Dan di balik semua itu, ada para pendamping, pendidik, dan relawan yang diam-diam terus menyalakan lentera peradaban dari hal-hal sederhana seperti tawa, peluh, dan permainan tradisional. Sebuah cara lembut namun kuat untuk berkata: masa depan dimulai dari anak-anak yang bahagia hari ini. (Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 69