banner 728x250
Batam  

Mencari Pemimpin yang Dicintai Langit, Diperhitungkan di Bumi Oleh : Syamsul Ibrahim, S. Ag

banner 120x600
banner 468x60

 

Dalam denyut kehidupan dakwah yang semakin menghadapi tantangan zaman, para muballigh yang berhimpun dalam Persatuan Muballigh Batam (PMB)—yang jumlah riil anggotanya hampir mencapai seribu orang—tengah berada dalam titik kontemplatif yang dalam. Mereka tidak sekadar memikirkan program kerja atau rutinitas keagamaan, tetapi sedang merenungkan sebuah kerinduan kolektif akan hadirnya sosok pemimpin yang bukan hanya memimpin secara struktural, melainkan juga memimpin dengan ruh spiritual dan keteladanan moral.

banner 325x300

Suasana kebatinan ini tumbuh dari pengalaman panjang berdakwah di tengah-tengah masyarakat yang kompleks: masyarakat urban yang kian plural, realitas sosial yang sering dipenuhi kontradiksi nilai, serta kebijakan-kebijakan publik yang kadang menjauhkan umat dari akar nilai-nilai tauhid dan keadaban. Di tengah semua itu, para dai, ustaz, dan muballigh yang tergabung dalam PMB mendambakan seorang pemimpin yang mampu menjadi pelita, bukan hanya di dalam organisasi, tapi juga di tengah gelapnya arus zaman.

Mereka rindu pada sosok yang memiliki wibawa—bukan karena jabatan atau gelar, tetapi karena keutuhannya sebagai pribadi yang menjunjung tinggi kebenaran. Sosok yang kharismatik, karena ketulusannya melayani bukan karena citra yang dibangun. Sosok yang disegani karena keberaniannya menyuarakan kebaikan, dan diperhitungkan karena konsistensinya dalam membela nilai-nilai Islam, bahkan ketika hal itu berarti harus menantang arus kekuasaan dan opini mayoritas.

Para muballigh rindu pada pemimpin yang mampu berkata “tidak” terhadap kemungkaran, bahkan ketika tekanan politik dan sosial mengancam. Pemimpin yang tidak menjual prinsip untuk kenyamanan posisi. Pemimpin yang tak gentar mengoreksi penguasa ketika kebijakan yang dibuat berpotensi mematikan ruang-ruang dakwah, atau mengabaikan nilai-nilai moral publik. Di saat yang sama, mereka juga mendambakan pemimpin yang mampu berkata “lanjutkan” dengan mantap terhadap setiap langkah amar ma’ruf, bahkan bila langkah itu harus ditempuh dengan mengorbankan kenyamanan pribadi.

Dalam hati mereka terpatri gambaran pemimpin yang sanggup berdiri tegak ketika orang lain membungkuk, yang tetap lantang meskipun yang lain memilih diam, yang memilih teguh dalam kebenaran meskipun harus menanggung sunyi. Seorang pemimpin yang mampu menjadi penasihat bagi penguasa, bukan pencari simpati dari penguasa. Pemimpin yang sanggup menyampaikan kebenaran meskipun pahit, yang tidak memoles kebenaran agar terlihat manis di hadapan dunia.

Lebih dari itu, mereka mendambakan figur yang bersahaja—yang hidup dalam kesederhanaan, yang menolak popularitas, yang menghindari sorotan kamera, namun diam-diam menggerakkan banyak jiwa. Pemimpin yang tidak sibuk mencitrakan kesalehan, tetapi betul-betul hidup dalam kesalehan. Seorang yang teguh dalam prinsip, namun tetap lembut dalam pergaulan. Tegas terhadap kedzaliman, namun penuh kasih kepada mereka yang tulus memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

Inilah kerinduan sejati yang mengendap dalam hati para muballigh: pemimpin yang tidak hanya mengatur, tapi menginspirasi; tidak hanya tampil di depan, tapi hadir dalam hati. Pemimpin yang bukan hanya didengar perintahnya, tapi dicintai karena akhlaknya. Pemimpin yang tidak hanya kuat secara intelektual dan organisatoris, tetapi juga jernih hatinya, dalam pandangannya, dan luas pandangannya terhadap peradaban umat.

Namun kerinduan ini sekaligus menjadi pertanyaan besar: masih adakah sosok seperti itu? Atau apakah zaman ini terlalu bising oleh ambisi dan kepentingan, sehingga pemimpin semacam itu hanya menjadi cerita indah dalam khazanah kenangan dan teks-teks sejarah?

Jawabannya, tentu, bukan terletak di luar, tetapi di dalam hati setiap kita yang memimpikan perubahan. Sebab pemimpin seperti itu tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari ekosistem yang sehat, dari komunitas yang jujur, dari kaderisasi yang ikhlas, dan dari tradisi dakwah yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan duniawi. PMB tidak boleh hanya menunggu; ia harus menyiapkan. Ia harus menjadi tanah subur bagi tumbuhnya kepemimpinan profetik yang kita rindukan bersama.

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan dari kita, dari siapa?. Nursalim Turatea).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *