Dalam denyut kehidupan dakwah yang semakin menghadapi tantangan zaman, para muballigh yang berhimpun dalam Persatuan Muballigh Batam (PMB)—yang jumlah riil anggotanya hampir mencapai seribu orang—tengah berada dalam titik kontemplatif yang dalam. Mereka tidak sekadar memikirkan program kerja atau rutinitas keagamaan, tetapi sedang merenungkan sebuah kerinduan kolektif akan hadirnya sosok pemimpin yang bukan hanya memimpin secara struktural, melainkan juga memimpin dengan ruh spiritual dan keteladanan moral.

Suasana kebatinan ini tumbuh dari pengalaman panjang berdakwah di tengah-tengah masyarakat yang kompleks: masyarakat urban yang kian plural, realitas sosial yang sering dipenuhi kontradiksi nilai, serta kebijakan-kebijakan publik yang kadang menjauhkan umat dari akar nilai-nilai tauhid dan keadaban. Di tengah semua itu, para dai, ustaz, dan muballigh yang tergabung dalam PMB mendambakan seorang pemimpin yang mampu menjadi pelita, bukan hanya di dalam organisasi, tapi juga di tengah gelapnya arus zaman.
Mereka rindu pada sosok yang memiliki wibawa—bukan karena jabatan atau gelar, tetapi karena keutuhannya sebagai pribadi yang menjunjung tinggi kebenaran. Sosok yang kharismatik, karena ketulusannya melayani bukan karena citra yang dibangun. Sosok yang disegani karena keberaniannya menyuarakan kebaikan, dan diperhitungkan karena konsistensinya dalam membela nilai-nilai Islam, bahkan ketika hal itu berarti harus menantang arus kekuasaan dan opini mayoritas.
Para muballigh rindu pada pemimpin yang mampu berkata “tidak” terhadap kemungkaran, bahkan ketika tekanan politik dan sosial mengancam. Pemimpin yang tidak menjual prinsip untuk kenyamanan posisi. Pemimpin yang tak gentar mengoreksi penguasa ketika kebijakan yang dibuat berpotensi mematikan ruang-ruang dakwah, atau mengabaikan nilai-nilai moral publik. Di saat yang sama, mereka juga mendambakan pemimpin yang mampu berkata “lanjutkan” dengan mantap terhadap setiap langkah amar ma’ruf, bahkan bila langkah itu harus ditempuh dengan mengorbankan kenyamanan pribadi.
Dalam hati mereka terpatri gambaran pemimpin yang sanggup berdiri tegak ketika orang lain membungkuk, yang tetap lantang meskipun yang lain memilih diam, yang memilih teguh dalam kebenaran meskipun harus menanggung sunyi. Seorang pemimpin yang mampu menjadi penasihat bagi penguasa, bukan pencari simpati dari penguasa. Pemimpin yang sanggup menyampaikan kebenaran meskipun pahit, yang tidak memoles kebenaran agar terlihat manis di hadapan dunia.
Lebih dari itu, mereka mendambakan figur yang bersahaja—yang hidup dalam kesederhanaan, yang menolak popularitas, yang menghindari sorotan kamera, namun diam-diam menggerakkan banyak jiwa. Pemimpin yang tidak sibuk mencitrakan kesalehan, tetapi betul-betul hidup dalam kesalehan. Seorang yang teguh dalam prinsip, namun tetap lembut dalam pergaulan. Tegas terhadap kedzaliman, namun penuh kasih kepada mereka yang tulus memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Inilah kerinduan sejati yang mengendap dalam hati para muballigh: pemimpin yang tidak hanya mengatur, tapi menginspirasi; tidak hanya tampil di depan, tapi hadir dalam hati. Pemimpin yang bukan hanya didengar perintahnya, tapi dicintai karena akhlaknya. Pemimpin yang tidak hanya kuat secara intelektual dan organisatoris, tetapi juga jernih hatinya, dalam pandangannya, dan luas pandangannya terhadap peradaban umat.
Namun kerinduan ini sekaligus menjadi pertanyaan besar: masih adakah sosok seperti itu? Atau apakah zaman ini terlalu bising oleh ambisi dan kepentingan, sehingga pemimpin semacam itu hanya menjadi cerita indah dalam khazanah kenangan dan teks-teks sejarah?
Jawabannya, tentu, bukan terletak di luar, tetapi di dalam hati setiap kita yang memimpikan perubahan. Sebab pemimpin seperti itu tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari ekosistem yang sehat, dari komunitas yang jujur, dari kaderisasi yang ikhlas, dan dari tradisi dakwah yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan duniawi. PMB tidak boleh hanya menunggu; ia harus menyiapkan. Ia harus menjadi tanah subur bagi tumbuhnya kepemimpinan profetik yang kita rindukan bersama.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan dari kita, dari siapa?. Nursalim Turatea).
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 65