sidikfokusnews.com-Batam. — Di tengah upaya Indonesia membangun citra sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum, mencuat satu kasus yang mengguncang bukan hanya karena nilai ekonominya, tetapi juga karena dampaknya terhadap reputasi sistem peradilan nasional. Sengketa kapal MT Arman 114, yang saat ini ditangani oleh Pengadilan Negeri Batam, telah menjelma menjadi simbol kebobrokan praktik penegakan hukum yang terpapar calo, makelar kasus (Markus), dan intervensi non-formal yang merusak integritas lembaga peradilan.
Permasalahan hukum yang awalnya hanya berkutat pada penyitaan muatan minyak dan status kepemilikan kapal, kini berkembang menjadi polemik internasional, memicu kekhawatiran investor asing, dan menyentuh aspek reputasi diplomatik Indonesia. Seorang agen kapal asal Malaysia dilaporkan mengalami kerugian lebih dari Rp3 miliar setelah dijanjikan penyelesaian “jalur cepat” oleh seorang calo hukum yang mengaku memiliki akses langsung ke Kejaksaan Agung. Dana diberikan, tapi perkara tetap bergulir. Yang lebih ironis, pelaku calo ini diketahui tinggal di kompleks perumahan yang sama dengan salah satu pengacara Indonesia yang kini secara terbuka mengungkapkan bobroknya jaringan mafia hukum yang melilit kasus ini.
Pengacara. Fadil Hasan, SH., yang mengawal kasus ini dari dekat, menyatakan bahwa praktik makelar kasus tidak hanya mencederai asas keadilan, tetapi juga menjadi ancaman terhadap wibawa negara di panggung internasional.
“Ini bukan lagi persoalan sipil biasa. Ketika pihak-pihak informal bermain di belakang layar, mengaku bisa atur perkara atas nama institusi negara, lalu menilep dana miliaran rupiah dari warga negara asing, yang dipertaruhkan bukan hanya keadilan klien, tapi kehormatan hukum kita di mata dunia,” tegas Fadil.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa sengketa MT Arman 114 telah menjadi semacam etalase kegagalan sistem. Jalur hukum yang seharusnya bersih dan dapat dipercaya justru dibajak oleh aktor-aktor yang tidak memiliki legitimasi, tapi memiliki akses kepada kekuasaan informal. Ketika mafia hukum lebih didengar daripada argumentasi hukum yang sahih, maka proses peradilan kehilangan makna esensialnya.
Dalam sengketa ini, penggugat disebut tidak mempermasalahkan kepemilikan kapal secara keseluruhan. Yang menjadi pokok persoalan adalah muatan minyak yang disita pihak Kejaksaan Batam, yang menurut penggugat merupakan hak milik kliennya. Namun, alih-alih berjalan secara prosedural, perkara justru diwarnai dengan tumpang tindih gugatan perdata, tarik-menarik di ruang persidangan, dan janji-janji penyelesaian perkara dari pihak-pihak yang mengaku punya “jalur dalam”.
Menanggapi situasi ini, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menyatakan bahwa intervensi informal dalam perkara lintas negara seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip due process of law. Ia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa warga negara asing yang berperkara di pengadilan Indonesia diperlakukan secara adil, transparan, dan sesuai hukum yang berlaku.
“Negara tidak boleh diam ketika nama institusinya digunakan untuk kepentingan pribadi. Kemenkumham dan Kejaksaan Agung wajib turun tangan. Bukan untuk mengintervensi proses hukum, tapi untuk memastikan bahwa sistem bekerja dengan benar dan tidak dijadikan alat komersialisasi oleh pihak-pihak gelap,”
Dampak dari kasus ini tidak hanya bersifat domestik. Dr. Matthew R. Kingsley, pengamat hukum maritim internasional dari University of Southampton, Inggris, menilai bahwa kasus MT Arman 114 telah menciptakan kegelisahan di kalangan pelaku bisnis global. Ia menyoroti bagaimana prosedur hukum yang tidak bisa diprediksi dan mudah dipengaruhi oleh aktor informal akan membuat investor enggan menanamkan modal mereka di Indonesia.
“Kapal dan muatan adalah entitas hukum yang terhubung dengan berbagai yurisdiksi. Bila penyelesaiannya bisa dibeli atau diatur lewat calo, maka ini bukan lagi kasus domestik — ini reputasi negara yang dipertaruhkan. Investor akan membaca Indonesia sebagai negara yang tidak bisa menjamin kepastian hukum,”
Fadil Hasan menambahkan bahwa praktik serupa juga terjadi dalam berbagai kasus lain, seperti sengketa pertanahan di Batam. Dalam kasus tersebut, pihak yang telah menang hingga tingkat banding justru kalah di tingkat kasasi. Belakangan diketahui, ada dugaan “serangan bom” hukum di Mahkamah Agung oleh pihak lawan. Saat ini, timnya sedang menyiapkan Peninjauan Kembali (PK) kedua dengan bukti baru (novum) demi merebut kembali hak yang diyakini telah dirampas lewat manipulasi hukum.
Ia menyerukan agar seluruh jajaran penegak hukum — hakim, jaksa, maupun pengacara — kembali ke prinsip dasar profesi: bekerja secara objektif, profesional, dan berdasarkan hukum, bukan atas dasar tekanan politik atau godaan uang.
“Kita tidak kekurangan undang-undang. Yang kita krisis adalah integritas. Kalau semua berjalan sesuai koridor hukum nasional dan memperhatikan norma internasional, tidak akan serumit ini. Tapi ketika calo diberi panggung dan uang menjadi kompas keadilan, maka hukum kita kehilangan jiwa,” ujar Fadil dengan nada prihatin.
Kasus MT Arman 114 menjadi cermin telanjang: apakah supremasi hukum di Indonesia hanya wacana di atas kertas, atau masih menyisakan ruang untuk ditegakkan secara adil. Ketika seorang warga asing yang hendak berbisnis secara legal di Indonesia justru terjebak dalam labirin mafia hukum, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama baik peradilan, melainkan kepercayaan dunia terhadap bangsa ini.
Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya penyelesaian kasus per kasus, melainkan reformasi sistemik terhadap praktik-praktik peradilan yang telah lama ditunggangi oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat. Jika kasus ini dibiarkan menjadi preseden, maka Indonesia akan semakin tertinggal dalam percaturan investasi global — bukan karena kekurangan potensi, melainkan karena krisis kepercayaan terhadap hukum itu sendiri.”(Arf)