banner 728x250
Budaya  

Kepri dan Ambisi 17 Triliun: Antara Potensi Wisata dan Tanggung Jawab Tata Kelola

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.— Kepulauan Riau (Kepri) kembali menjadi sorotan publik setelah Dinas Pariwisata provinsi tersebut menggulirkan target ambisius: kontribusi Rp17 triliun dari sektor pariwisata. Bukan sekadar angka, target ini sontak menimbulkan diskursus luas di kalangan pengamat, pelaku usaha, komunitas warga, serta para pemangku kepentingan pemerintahan, baik lokal maupun nasional. Pertanyaannya bukan hanya soal realistis atau tidaknya capaian tersebut, melainkan juga kesiapan sistem pendukung dan akuntabilitas kebijakan di baliknya.

banner 325x300

Dalam forum diskusi bertajuk “Kopi Sore untuk Kepri” yang digelar bersama komunitas Gerakan Bersama (Geber), Kepala Dinas Pariwisata Kepri, Hasan, menyatakan bahwa angka tersebut bukan sekadar capaian material, melainkan bentuk motivasi kolektif agar semua pihak, terutama kepala daerah kabupaten/kota, tergerak untuk membenahi sektor pariwisata di wilayah masing-masing.

Hasan secara terbuka mengakui bahwa keberhasilan target Rp17 triliun tidak mungkin diraih oleh pemerintah provinsi sendiri. Ia menekankan pentingnya sinergi yang konkret, mulai dari pelaku usaha hingga pejabat kabupaten/kota, serta menyebut perlunya pelibatan langsung Gubernur Kepri untuk menyatukan visi dan langkah strategis di seluruh tingkatan pemerintahan. Pertemuan lanjutan bahkan disebut akan melibatkan langsung kepala daerah se-Kepri demi menyusun peta jalan pariwisata yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Namun di balik ambisi itu, kondisi nyata pariwisata Kepri masih menghadapi persoalan-persoalan klasik namun krusial: lemahnya koordinasi antarwilayah, kualitas infrastruktur yang timpang, promosi wisata yang minim strategi, serta pelayanan publik yang belum memadai, khususnya di daerah tujuan utama seperti Tanjungpinang.

Salah satu sorotan utama dalam diskusi tersebut adalah kualitas promosi pariwisata yang dianggap dangkal dan tidak menyentuh narasi destinasi. Banyak promosi hanya berbentuk visualisasi permukaan berupa video singkat yang menonjolkan panorama, tanpa narasi identitas atau keterkaitan budaya dan potensi ekonomi lokal. Hal ini membuat promosi tidak efektif dalam membangun citra destinasi secara jangka panjang, apalagi dalam menarik wisatawan mancanegara yang semakin selektif dalam memilih tujuan wisata.

Gubernur Kepri sendiri disebut meminta agar promosi diarahkan ke bentuk yang lebih strategis, berbasis riset pasar dan kebutuhan daerah. Bukan sekadar konten viral, tetapi promosi yang mampu menggugah minat wisatawan untuk datang, tinggal lebih lama, dan membelanjakan uangnya secara signifikan bagi ekonomi lokal.

Selain itu, Tanjungpinang yang selama ini dijuluki sebagai pusat budaya Melayu, justru menghadapi berbagai tantangan infrastruktur dan pelayanan dasar. Sampah di titik-titik wisata, minimnya pelatihan bagi tenaga pelayanan, serta lemahnya pengelolaan destinasi disebut sebagai hambatan nyata. Ironisnya, kota yang membawa visi “Berbenah” justru terjebak dalam praktik pengelolaan yang belum optimal.

Komunitas Gerakan Bersama kemudian merumuskan sejumlah rekomendasi yang bersifat struktural dan strategis. Mereka menekankan pentingnya reformasi tata kelola pariwisata Kepri, termasuk pembentukan lembaga koordinatif semacam Badan Otorita Pariwisata Kepri. Badan otorita sebelumnya disebut sudah tidak aktif, dan kekosongan kelembagaan ini memicu fragmentasi kebijakan dan tumpang tindih anggaran antara provinsi dan kabupaten/kota. Dalam model baru, lembaga ini diharapkan tak hanya mengatur administratif, tetapi menjadi simpul koordinasi lintas sektor yang menghubungkan pelaku industri, pemerintah, dan komunitas akar rumput.

Reformasi kelembagaan juga harus diiringi dengan penerapan good tourism governance, yakni tata kelola pariwisata yang akuntabel, partisipatif, dan berorientasi pada hasil. Penggunaan anggaran promosi harus dilaporkan secara terbuka dan terukur efektivitasnya. Setiap program pariwisata di tingkat kabupaten dan kota wajib dievaluasi secara berkala melalui indikator kinerja yang obyektif, seperti jumlah kunjungan, lama tinggal wisatawan, dampak ekonomi lokal, hingga kepuasan pengunjung.

Dr. Adi Suryanto, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI yang juga dikenal sebagai pakar tata kelola publik, menyatakan bahwa dalam dunia pariwisata modern, target finansial sebesar Rp17 triliun harus disokong oleh kerangka kerja yang jelas dan terukur. “Kalau angka besar ditetapkan, maka harus ada pembagian peran yang konkret. Siapa mengerjakan apa, dengan tolok ukur seperti apa. Dan semua itu harus berbasis data, bukan asumsi,” jelasnya.

Senada, Prof. Nyoman S. Dharma Putra, guru besar kebijakan pariwisata UGM, menyebut pentingnya membangun sistem evaluasi berbasis kinerja yang mengintegrasikan seluruh program pariwisata di daerah. Ia menegaskan bahwa promosi bukan segala-galanya. “Kalau promosi besar-besaran tapi tidak ada kesiapan destinasi, tidak ada pelatihan SDM, tidak ada pemeliharaan fasilitas publik, maka promosi itu menjadi omong kosong. Kita sedang bicara kepercayaan pasar,” katanya.

Selain tata kelola internal, isu dampak lingkungan dan sosial juga muncul dalam diskusi. Para peserta mendesak agar setiap proyek pariwisata, baik yang dirancang oleh provinsi maupun kabupaten/kota, diwajibkan untuk menjalani audit sosial dan lingkungan. Banyak kasus di mana proyek wisata justru merusak ekosistem lokal, meminggirkan masyarakat adat, atau menjadi beban sosial bagi warga sekitar.

Hasan menyatakan keterbukaannya terhadap seluruh masukan tersebut dan menjanjikan akan memperjuangkan terbentuknya forum konsultatif antara pelaku usaha, komunitas warga, dan pemangku kebijakan. Forum ini diharapkan menjadi ruang dialog rutin untuk menyampaikan aspirasi, merumuskan solusi bersama, dan mencegah terjadinya penyelewengan anggaran serta kebijakan yang tidak partisipatif.

Ia juga menjelaskan bahwa angka Rp17 triliun bukan diambil sembarangan, melainkan berdasarkan estimasi jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 1,7 juta orang dikalikan dengan rerata pengeluaran untuk akomodasi, makan-minum, dan transportasi selama berwisata di Kepri. Jika dihitung dengan pengeluaran konservatif, potensi kontribusi pariwisata bisa menyentuh angka tersebut. Namun, ia menekankan bahwa realisasi angka tersebut hanya mungkin terjadi bila sistem pendukungnya dibenahi secara serius.

Penutup dari diskusi menggarisbawahi bahwa Kepri memiliki modal pariwisata yang sangat kuat. Posisi geografisnya yang strategis, keragaman budaya Melayu, serta kekayaan bahari menjadikannya magnet wisata yang seharusnya tidak sulit dikembangkan. Namun semua itu akan menjadi sia-sia jika sistem pengelolaan tidak bersih, tidak efisien, dan penuh praktik penyalahgunaan anggaran serta dominasi calo dan kepentingan jangka pendek.

Kepri memiliki peluang untuk membuktikan bahwa sektor pariwisata bukan hanya mesin ekonomi, tetapi juga wajah dari tata kelola daerah yang inklusif, cerdas, dan bermartabat. Momentum ini tidak boleh dilewatkan — sebab lebih dari sekadar angka, yang sedang dipertaruhkan adalah reputasi daerah dan kepercayaan publik.”(Arf)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *