banner 728x250
Hukum  

Kisruh MT Arman 114: Mafia Hukum, Gugatan Berlapis, dan Taruhan atas Wibawa Peradilan Indonesia

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-BATAM,— Drama hukum kapal tanker raksasa MT Arman 114 kini memasuki babak baru yang sarat kontroversi dan penuh teka-teki. Di balik kemegahan kapal berbendera Iran dengan bobot mati lebih dari 300.000 ton ini, tersimpan konflik kepemilikan minyak mentah senilai triliunan rupiah yang kian memperlihatkan betapa rapuh dan rentannya sistem peradilan Indonesia dalam menghadapi skenario gugatan bertingkat, permainan aktor asing, dan dugaan mafia hukum kelas kakap.

banner 325x300

Majelis hakim Pengadilan Negeri Batam sebenarnya telah menjatuhkan putusan final dalam perkara nomor 323/Pdt.G/2024/PN Btm, yang menyatakan bahwa kapal MT Arman 114 dan seluruh muatannya harus dikembalikan kepada Ocean Mark Shipping Inc., perusahaan berbasis di Panama yang terbukti sebagai pemilik sah dan tidak terlibat dalam pelanggaran hukum. Putusan itu seharusnya menjadi akhir dari polemik panjang yang dimulai sejak penangkapan kapal pada 2023 lalu di perairan Indonesia karena mematikan AIS (Automatic Identification System) dan diduga membawa minyak dari Iran—yang sedang dikenai sanksi internasional.

Namun, proses eksekusi oleh Kejaksaan Negeri Batam justru tertahan. Muncul gugatan baru dalam perkara 254/Pdt.G/2025/PN Btm yang diajukan oleh warga negara Lebanon, Elham Mahmud. Ia mengklaim bahwa muatan minyak mentah di kapal tersebut bukan milik Ocean Mark, melainkan milik perusahaan Lebanon, Consepto Screen Sal Off-Shore, berdasarkan dokumen tanda terima barang dan perjanjian sewa kapal (charter party). Gugatan ini difokuskan pada muatan minyak, bukan pada kapalnya.

Michael Tappangan, SH, pengacara Indonesia yang mewakili pihak Lebanon, mengungkapkan kepada wartawan bahwa kliennya memiliki legalitas kuat untuk menuntut hak atas kargo tersebut. “Kami tidak menggugat soal kapal. Fokus kami adalah kargo yang sekarang dikuasai oleh Kejaksaan,” ujarnya usai sidang perdana, Kamis, 24 Juli 2025.

Namun di balik jalur hukum ini, sejumlah sumber menyebut adanya aroma tak sedap. Informasi yang dihimpun menyebut dugaan kuat adanya transaksi miliaran rupiah agar gugatan perdata baru ini bisa “lolos” dan membuka kembali celah hukum yang telah ditutup dengan putusan inkracht. Bahkan, ada dugaan keterlibatan aktor-aktor berpengaruh dalam sistem peradilan yang berperan sebagai fasilitator hukum bagi pihak-pihak internasional berkepentingan.

“Ini adalah bentuk klasik dari akrobat hukum,” ujar seorang sumber dari lingkungan penegak hukum Kepri yang enggan disebutkan namanya. “Buat dokumen baru, pakai pihak asing, daftarkan ulang perkara, seolah-olah ada pemilik lain. Akhirnya negara jadi bulan-bulanan.”

Pendapat Ahli: Celah Hukum dan Krisis Kelembagaan

Pakar hukum perdata dan tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menilai kasus ini sebagai contoh telanjang dari lemahnya sistem koordinasi antar-lembaga dalam menghadapi sengketa bernilai strategis dan transnasional. “Ini bukan sekadar soal dokumen atau legalitas, tapi soal kontrol negara atas yurisdiksinya. Ketika putusan sudah inkracht dan muncul gugatan baru tanpa basis fakta baru yang signifikan, itu pertanda sistem kita sedang digerogoti dari dalam,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Herlambang Wiratraman, pengajar hukum internasional dari Universitas Airlangga, menyoroti bagaimana konflik ini menyorot wajah sistem peradilan Indonesia di mata dunia. “Ini bukan lagi soal perdata biasa. Ini soal reputasi hukum. Ketika dua entitas asing berebut aset triliunan di pengadilan kita, maka seluruh dunia melihat: apakah pengadilan kita bisa berdiri di atas prinsip keadilan dan kedaulatan hukum, atau tunduk pada skema licik dengan dokumen yang bisa dipesan.”

Pengamat hukum maritim, Capt. M. Ridwan, menambahkan bahwa aspek keselamatan dan regulasi pelayaran internasional juga ikut dipertaruhkan. “AIS dimatikan, diduga muatan dari Iran, dan kapal ini sebelumnya sudah diduga melanggar sanksi internasional. Bagaimana mungkin tiba-tiba semua menjadi bersih hanya karena ada dokumen baru?”

Kejaksaan Negeri Batam kini berada di persimpangan pelik. Di satu sisi, mereka wajib menjalankan eksekusi putusan pengadilan sebelumnya. Di sisi lain, mereka digugat secara perdata karena dianggap “menguasai barang” yang tengah diperebutkan. Ini menimbulkan tumpang tindih otoritas dan menciptakan ketidakpastian hukum yang serius.

Dalam konteks lebih luas, pemerintah pusat melalui Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung seharusnya turun tangan untuk memastikan agar tidak terjadi abuse of process yang melemahkan kedaulatan hukum negara. Jika gugatan seperti ini terus dibiarkan, maka akan terbuka pintu bagi spekulan hukum internasional untuk menjadikan pengadilan Indonesia sebagai arena perburuan aset bernilai tinggi.

Jalan Tengah atau Jalan Buntu?, di tengah kabut ketidakpastian ini, satu hal yang pasti adalah publik menanti jawaban tegas: apakah negara akan bersikap dan melindungi wibawa hukum, atau justru menjadi bagian dari kompromi yang dibungkus dalam legalitas semu?

Jika tidak segera ditangani dengan tegas, kisruh MT Arman 114 bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum strategis yang melibatkan kepentingan internasional. Dan seperti yang disampaikan Prof. Zainal, “Negara bisa kehilangan kehormatannya bukan karena kalah di pengadilan, tapi karena membiarkan hukum dijadikan alat tawar-menawar.”

Kini bola panas berada di tangan Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan pemerintah pusat. Akan kah mereka tegas menjaga marwah hukum nasional? Atau kita akan kembali menyaksikan hukum yang dipermainkan di altar kepentingan dan ditukar dengan cek kosong?,”(TRSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *