sidikfokusnews.com-Batam.-Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kota Batam menggelar rapat kerja penting bersama LAZ Batam pada Rabu, 23 Juli 2025, bertempat di kantor LAZ Batam. Rapat ini dimulai pukul 14.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB. Hadir dalam rapat tersebut sejumlah pengurus inti BWI, perwakilan lembaga keagamaan, serta Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam, KH. Budi Dermawan, S.Ag., M.Si.
Rapat ini membahas beberapa agenda utama yang dianggap strategis, mulai dari persiapan pelantikan pengurus BWI Batam, penguatan program Rumah Qur’an, hingga laporan kegiatan kelembagaan.
Ketua BWI Kota Batam, H. Buralimar, menyampaikan bahwa pelantikan pengurus baru direncanakan pada tanggal 9 Agustus 2025. Ia menegaskan pentingnya pelantikan ini sebagai langkah awal untuk memperkuat struktur dan legalitas kepengurusan BWI secara formal di tingkat kota.
Dalam rapat ini juga dibahas kelanjutan program Rumah Qur’an yang bertujuan mencetak generasi muda yang cinta Al-Qur’an. Lahan untuk pembangunan Rumah Qur’an sudah tersedia di wilayah Tiban Mc Dermott, merupakan hasil wakaf dari salah seorang dermawan. Untuk mempercepat pembangunan, BWI berencana menggalang dana melalui wakaf uang dan wakaf melalui uang. Wakaf uang nantinya akan dikelola dalam bentuk deposito, sementara wakaf melalui uang akan dikembangkan dalam bentuk program produktif.
Selain itu, BWI Batam juga tengah mempersiapkan laporan kegiatan yang akan dikirimkan ke BWI Pusat. Laporan ini mencakup pelaksanaan program, evaluasi kegiatan, serta rencana kerja ke depan. Laporan ini juga akan disertakan bersama permohonan rekomendasi resmi kepada Kementerian Agama sebagai bentuk sinergi dan legalitas kelembagaan. Sekretariat BWI diminta menyelesaikan dokumen administrasi tersebut dalam waktu satu hari agar bisa segera dikirim.
Kepala Kemenag Batam, KH. Budi Dermawan, dalam sambutannya menyampaikan bahwa potensi ekonomi Islam di Kota Batam sangat besar, terutama dari sektor zakat dan wakaf uang. Kedua instrumen ini, menurutnya, dapat menjadi solusi konkret dalam pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi umat.
Senada dengan hal tersebut, Ustadz Sarifuddin selaku pimpinan LAZ Batam mengusulkan agar Batam ditetapkan sebagai Kota Wakaf. Untuk mewujudkan hal itu, ia menekankan pentingnya kolaborasi antara BWI dengan berbagai elemen masyarakat Islam seperti BAZNAS, MUI, PMB, NU, DMI, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya.
Di akhir rapat, juga dibahas peluang kerja sama dan sinergi dengan berbagai stakeholder termasuk kemungkinan dukungan anggaran dari APBD Perubahan 2026. Dukungan ini diharapkan dapat memperkuat program wakaf produktif serta kegiatan sosial kemasyarakatan yang sedang dirancang oleh BWI.
Rapat ditutup dengan harapan agar BWI Batam terus berkembang sebagai lembaga yang amanah, profesional, dan mampu membawa manfaat luas bagi masyarakat Kota Batam, khususnya dalam penguatan ekonomi umat melalui wakaf.”(Nursalim Turatea)
Berita Terkait
Perobohan Hotel Purajaya: Warisan yang Dilanjutkan BP Batam di Era Amsakar Panja Pengawasan Mafia Tanah Komisi III DPR RI Hanya Pepesan Kosong Batam, 30 September 2025. Kisah kelam perobohan Hotel Purajaya di Batam terus bergulir sebagai luka hukum, ekonomi, sekaligus sosial yang tak kunjung disembuhkan. PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, masih berjuang mendapatkan pertanggungjawaban atas pencabutan alokasi 30 hektar lahan miliknya yang kemudian disusul dengan penghancuran bangunan hotel senilai Rp922 miliar. Meski desakan demi desakan mengalir dari DPR RI hingga pimpinan lembaga tinggi negara, Badan Pengusahaan (BP) Batam tetap bergeming. Alih-alih menyelesaikan masalah, rezim baru BP Batam di bawah kepemimpinan Amsakar tampak meneruskan warisan zalim pendahulunya. Direktur PT DTL, Rury Afriansyah, menegaskan pihaknya telah menempuh seluruh jalur resmi. Rekomendasi dari Komisi VI dan III DPR RI, bahkan permintaan dari Wakil Ketua DPR RI kepada Ketua Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, hingga Kepala BP Batam, tak digubris sedikitpun. “Apakah warisan yang ditinggalkan BP Batam yang lama akan terus dipertahankan oleh penerusnya? Tampaknya iya,” ujar Rury dengan getir. Harapan sempat tumbuh saat Komisi VI DPR RI mengunjungi Batam pada 18 Juli 2025. Dalam forum itu, sekitar 40 warga Batam turut menyampaikan keluhannya. Namun, hingga kini tidak satu pun rekomendasi ditindaklanjuti. Rury menyebut Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk DPR RI hanya sebatas “pepesan kosong” tanpa taring. Zukriansyah, perwakilan warga, mengamini kekecewaan itu: “Satu masalah pun tidak ada yang dikerjakan Komisi VI sampai sekarang.” Kekecewaan tersebut membuat PT DTL menempuh jalur lebih keras. Saat ini pengaduan sedang disiapkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Mabes Polri. Fokusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pencabutan lahan dan tindak pidana pengeroyokan dalam perobohan aset. “Langkah ini paling tepat, sebab BP Batam tampaknya tidak akan bergeming melihat desakan dari DPR RI. Justru ada dugaan kuat, BP Batam terus melindungi mafia tanah. Bukannya membenahi, tetapi mengawal kepentingan konsorsium mereka,” tegas Rury. Pengamat hukum pertanahan, menyebut kasus ini sebagai kejahatan pertanahan paling terbuka. Pencabutan alokasi lahan tanpa dasar hukum yang sah sudah menjadi pelanggaran, diperparah dengan perobohan bangunan tanpa putusan pengadilan. “Saya heran, kenapa penegak hukum enggan menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Ini perampasan hak, tindakan inkonstitusional, dan bentuk nyata kejahatan pertanahan,” katanya. Sikap serupa pernah ditegaskan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia menilai perobohan Hotel Purajaya tidak sah secara hukum. Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum di Jakarta, Habiburokhman menyoroti keterlibatan aparat dalam proses yang jelas-jelas bukan eksekusi pengadilan. “Kalau eksekusi, yang mengoordinir adalah pengadilan dengan dasar putusan pengadilan. Kalau ini tidak ada putusan, maka bukan eksekusi,” tegasnya. Komisi III pun mendorong pembentukan Panja mafia tanah untuk mengungkap jaringan di balik kasus ini, namun langkah itu macet karena resistensi dari BP Batam. Aktivis Monica Nathan menilai drama Purajaya hanyalah satu fragmen dari pola besar yang memperlihatkan lemahnya komitmen DPR RI dalam membela rakyat. Menurutnya, peristiwa rusuh di Jakarta dan berbagai daerah pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi bukti bahwa kemarahan publik bukan ilusi. “DPR lebih sibuk dengan retorika basi. Panja Komisi VI untuk evaluasi tata kelola lahan Batam, Panja Komisi III untuk melawan mafia tanah—mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus. Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar. Purajaya tetap rata dengan tanah. Teluk Tering tetap direklamasi. Mafia tetap berjaya,” ujarnya pedas. Moratorium reklamasi yang sempat diumumkan Wakil Wali Kota Batam juga hanya berhenti di atas kertas. Secara teori, moratorium berarti semua proyek dihentikan hingga audit selesai. Faktanya, pancang-pancang reklamasi tetap berdiri di Teluk Tering. Hal ini semakin menegaskan bahwa keputusan politik dan hukum di Batam kerap diabaikan, sementara kepentingan ekonomi segelintir pihak terus dijaga. Kasus Purajaya kini menjadi simbol kezaliman tata kelola lahan di Batam. Ia menggambarkan bagaimana mafia tanah, aparat, birokrasi, dan politik bisa berpadu dalam satu lingkaran yang menekan rakyat dan investor lokal. Hingga saat ini, tak ada kejelasan kapan keadilan akan hadir. Namun satu hal pasti, suara lantang dari Batam terus menantang BP Batam: apakah mereka akan menutup mata demi melanggengkan warisan, atau berani memutus mata rantai mafia tanah yang telah menjarah hak rakyat selama puluhan tahun.”(tim)
Post Views: 77