banner 728x250

Klaim Perputaran Uang Pariwisata Rp17 Triliun di Kepri Dinilai Terlalu Optimistis, Pengamat Minta Penjelasan Lebih Rinci

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com-Tanjungpinang.-Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Hasan, yang menyebutkan bahwa perputaran uang dari sektor pariwisata di wilayah Kepri pada tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp17 triliun menuai pertanyaan serius dari kalangan pengamat pariwisata. Angka yang dinilai bombastis tersebut dianggap tidak disertai dengan transparansi metodologi perhitungan yang jelas dan sumber data yang dapat diverifikasi publik.

banner 325x300

Menurut Hasan, angka Rp17 triliun tersebut berasal dari proyeksi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 1,7 juta orang dengan estimasi pengeluaran rata-rata sebesar Rp4,76 juta per kunjungan, serta 2,2 juta wisatawan nusantara (wisnus) dengan pengeluaran rata-rata Rp2,2 juta per orang. Namun, sebagian pihak menilai kalkulasi itu terlalu sederhana, bahkan cenderung manipulatif jika tidak didukung data riil di lapangan.

Pengamat pariwisata dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Dr. Rudi Hartono, menyebut bahwa estimasi ekonomi pariwisata tidak bisa hanya dihitung berdasarkan asumsi kunjungan dan pengeluaran rata-rata. Harus ada data konkret dari sumber terpercaya yang bisa menjelaskan bagaimana aliran dana tersebut benar-benar terserap dalam ekonomi lokal.

“Apakah data Rp17 triliun itu sudah dikurangi faktor kebocoran ekonomi? Apakah sudah mempertimbangkan dampak pengeluaran wisatawan yang justru mengalir keluar daerah, seperti ke agen perjalanan nasional atau operator luar negeri? Kalau tidak dijelaskan itu semua, angka tersebut hanya menjadi retorika promosi, bukan refleksi kondisi riil,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dr. Rudi menyoroti tidak adanya kontribusi langsung angka tersebut terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Kepri. Hasan sendiri mengakui bahwa pendapatan dari sektor pariwisata masuk sepenuhnya ke kabupaten/kota karena pemungutan pajak hotel, restoran, dan hiburan merupakan kewenangan pemerintah daerah tingkat dua, bukan provinsi.

Namun, pertanyaan besarnya adalah: apakah kabupaten/kota benar-benar memperoleh PAD yang sebanding dengan nilai ekonomi yang diklaim itu? Rudi mempertanyakan validitas klaim Hasan bahwa Kabupaten Bintan, misalnya, meraih hampir Rp200 miliar PAD dari sektor pariwisata. “Kita butuh data APBD, rincian sektor penyumbang, bukan klaim satu arah,” ujarnya.

Secara teori, sektor pariwisata memang memiliki multiplier effect yang tinggi, terutama dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan permintaan lokal, serta memutar roda UMKM. Namun, Dr. Rudi menegaskan bahwa efek ekonomi tersebut tidak serta-merta linier dengan jumlah kunjungan wisatawan. Banyak faktor yang menentukan, termasuk lama tinggal wisatawan, sebaran geografis destinasi, keterlibatan masyarakat lokal, dan tingkat ketergantungan pada layanan eksternal.

“Kalau 1,7 juta wisman itu hanya transit di pelabuhan internasional lalu kembali ke Singapura setelah beberapa jam, apakah itu kita hitung penuh sebagai dampak ekonomi? Apakah belanja oleh-oleh dan akomodasi lokal cukup signifikan? Harus ada data konkret, bukan sekadar hitung-hitungan kasar,” jelasnya.

Di sisi lain, Dr. Rudi mengapresiasi peran Pemerintah Provinsi Kepri dalam memfasilitasi koordinasi antar stakeholder pariwisata, promosi, serta pengembangan infrastruktur. Namun, menurutnya, klaim ekonomi harus selalu dibarengi dengan transparansi dan akuntabilitas, terutama ketika angka yang disebut sangat besar dan berpotensi mempengaruhi arah kebijakan publik.

“Pemerintah sebaiknya tidak menjadikan angka besar sebagai bahan kampanye tanpa landasan. Justru yang penting adalah transparansi dalam pelaporan dan monitoring dampak ekonomi secara berkala. Apalagi ini menyangkut persepsi publik dan potensi penyusunan anggaran,” tambahnya.

Dr. Rudi juga mendorong agar dilakukan audit dampak ekonomi secara berkala oleh lembaga independen untuk mengukur efektivitas sektor pariwisata terhadap PAD dan kesejahteraan masyarakat lokal. Menurutnya, tidak semua perputaran uang otomatis berkontribusi ke PAD. Bahkan bisa jadi hanya berputar di lingkaran terbatas, seperti operator besar, pemilik hotel asing, atau pelaku usaha non-lokal.

Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa potensi Kepri sebagai kawasan pariwisata internasional memang besar, tetapi harus ditopang dengan data yang akurat, kebijakan yang inklusif, dan pembangunan destinasi yang berkelanjutan.

“Daripada sekadar menyebut angka Rp17 triliun, sebaiknya kita fokus pada bagaimana memastikan wisatawan tinggal lebih lama, belanja lebih banyak di UMKM lokal, dan kembali lagi karena pelayanan dan kualitas destinasi. Itulah esensi dari pembangunan sektor pariwisata yang berpihak pada rakyat,” tutupnya.”(Redaksi)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *