Breaking News
Ketika Kejujuran Menjadi Jalan Cahaya: Refleksi 7 Safar 1447 H Ketika Kejujuran Menjadi Jalan Cahaya: Refleksi 7 Safar 1447 H sidikfokusnews.com-Tanjungpinang, Jumat Mubarok.— Di bawah langit 7 Safar 1447 Hijriyah atau bertepatan dengan 1 Agustus 2025 Masehi, kita kembali diingatkan bahwa cahaya tak pernah tertahan selamanya oleh awan gelap. Sebagaimana sinar mentari pada akhirnya menembus kabut dan menerangi alam, demikian pula kebenaran—meski terkadang tersembunyi oleh kepentingan, kebohongan, dan manipulasi—akan menemukan jalannya untuk bersinar dan diakui. Kebenaran tidak perlu guncangan besar atau panggung megah. Ia tidak menuntut pengakuan duniawi. Ia hanya perlu istiqamah, keteguhan hati, dan keikhlasan untuk terus ditegakkan. Karena pada waktunya, segala tirai dusta akan tersingkap, dan kejujuran akan menjadi cahaya yang membakar kebatilan. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an: > “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 119) Ayat ini bukan hanya seruan moral, tetapi perintah Allah agar kita senantiasa berada di barisan para pencinta kebenaran dan pelaku kejujuran. Ia adalah nilai pokok dalam membangun umat yang kuat, adil, dan penuh keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda: > “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Dan seseorang yang terus-menerus berlaku jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai al-Amīn (yang terpercaya), bahkan sebelum kenabian. Kejujuran adalah warisan pertama beliau kepada umatnya. Ia adalah bukti utama risalah, bahkan sebelum wahyu diturunkan. Para ulama terdahulu dan kontemporer tak henti mengingatkan bahwa kejujuran adalah pokok dari seluruh akhlak yang mulia, dan dusta adalah awal dari kehancuran pribadi maupun bangsa. 1. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله berkata: > “Kejujuran adalah poros segala kebaikan. Jika kejujuran lenyap, maka tidak akan tersisa kebaikan yang nyata. Dan jika kejujuran tegak, maka semua amal pun akan ikut tegak bersamanya.” (Madarijus Salikin, Jilid 2) 2. Imam Al-Ghazali رحمه الله menulis: > “Lidah yang jujur adalah cermin hati yang bersih. Jika seseorang terbiasa berkata jujur, maka hatinya akan dipenuhi cahaya. Tapi jika ia terbiasa berdusta, maka hatinya akan gelap dan rusak.” (Ihya’ Ulumuddin) 3. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani رحمه الله mengingatkan: > “Kejujuran adalah jalan menuju Allah. Siapa yang jujur, ia akan sampai. Dan siapa yang berdusta, ia akan tersesat dan tertolak.” 4. Syaikh Shalih al-Fauzan حفظه الله (ulama kontemporer): > “Orang yang jujur akan dipercayai masyarakatnya, dan orang yang berdusta meskipun sekali, akan kehilangan kepercayaan selamanya.” (Diringkas dari ceramah beliau dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah) Kejujuran Sebagai Pilar Peradaban, dalam tatanan sosial, kejujuran adalah modal dasar kepercayaan. Ia adalah tiang rumah dari hubungan antarmanusia—baik antara rakyat dan pemimpin, pedagang dan pelanggan, guru dan murid, suami dan istri. Bila tiang itu roboh, semua akan menyusul jatuh. Namun sayangnya, di zaman ini kejujuran kerap dianggap kelemahan, dan kebohongan menjadi alat untuk meraih posisi atau keuntungan. Inilah zaman ketika orang yang jujur dianggap naif, dan yang culas dijadikan panutan. Oleh karena itu, siapa yang tetap menjaga kejujuran di tengah budaya kebohongan, maka ia adalah pelita zaman, penunjuk jalan, dan pembela kebenaran yang hakiki. Mari kita jadikan hari Jumat ini sebagai momentum memperbarui tekad: untuk berkata benar, berlaku benar, dan berpihak kepada yang benar—meskipun kita sendirian. > اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الصَّادِقِينَ، وَارْزُقْنَا قُلُوبًا نَقِيَّةً، وَأَلْسِنَةً صَادِقَةً، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا، وَنُورًا نَمْشِي بِهِ فِي الظُّلُمَاتِ “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang jujur, anugerahkan kepada kami hati yang bersih, lisan yang benar, amal yang diterima, dan cahaya yang membimbing kami di tengah kegelapan.” (serpihancahayahati) 25 Tahun KPJ Tanjungpinang: Dari Jalanan ke Panggung Harapan Skandal Beras Oplosan Anambas: Warga Curiga, Presiden Bertindak PT Jurti Agung Mulia Dukung Peningkatan Kompetensi SDM Kelistrikan di Desa Sebong Lagoi
banner 728x250

Tiket Mahal Menuju Anambas: Transportasi Udara yang Masih “Mewah” untuk Warga Sendiri

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusNews.com.Letung.- Sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, tak bisa dilepaskan dari citra kepulauan yang eksotis namun terisolasi. Transportasi laut masih menjadi pilihan utama—murah, tapi lambat dan sangat bergantung pada cuaca. Maka, kehadiran pesawat perintis seperti Wings Air sejatinya adalah napas baru. Sayangnya, napas itu berbau mahal.

banner 325x300

Harga tiket pesawat rute Letung–Batam, yang tercatat sebesar Rp 1.528.900 per orang untuk sekali jalan, dinilai terlalu tinggi oleh banyak pihak. Demikian pula rute Batam–Belitung yang tak jauh beda mahalnya. Bagi masyarakat di wilayah kepulauan yang mayoritas hidup dari sektor kelautan dan informal, harga ini bukan hanya memberatkan, tapi sudah mendekati tidak masuk akal. Satu keluarga kecil yang ingin melakukan perjalanan bolak-balik Letung–Batam harus merogoh kocek lebih dari enam juta rupiah—hanya untuk transportasi saja.

Tim sidikfokusNews wawancara melalui WhatsApp dengan Ibu Nisa, perwakilan Wings Air di wilayah operasional, dijelaskan bahwa otoritas harga tiket sepenuhnya berada di tangan manajemen pusat. “Kami hanya fokus operasional dan menjual tiket sesuai harga yang ada di sistem,” kata Nisa singkat. Jawaban ini, meskipun jujur, mempertegas realitas bahwa otoritas pengelolaan rute perintis belum sepenuhnya memperhatikan daya beli masyarakat lokal yang justru menjadi pengguna utama.

Padahal, transportasi udara ke daerah kepulauan bukan hanya soal aksesibilitas, tetapi menyangkut hak dasar warga negara atas mobilitas, layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Tiket mahal berarti membatasi pilihan. Tiket mahal berarti memiskinkan akses. Tiket mahal bukan sekadar angka, tapi penanda bahwa pusat belum sepenuhnya mengerti logika hidup di pulau-pulau terpencil.

Pihak maskapai, tentu saja, punya kalkulasi bisnis. Rute pendek, biaya operasional tinggi, tingkat okupansi belum tentu penuh, dan dukungan subsidi mungkin masih minim. Namun pertanyaannya, apakah negara akan membiarkan hukum pasar yang dingin mengatur urusan vital seperti ini? Ketika subsidi energi bisa digelontorkan untuk industri besar, mengapa tidak untuk akses warga pulau?

Animo masyarakat terhadap layanan Wings Air sejatinya cukup baik, terutama saat urusan mendesak seperti rujukan medis, urusan birokrasi ke transit di Batam untuk ke wilayah lain di Kepri atau keperluan pendidikan, dan lain-lain namun, dengan harga yang terus naik, antusiasme itu perlahan berubah menjadi keterpaksaan. Beberapa warga bahkan harus menunda atau membatalkan perjalanan karena harga yang tak terjangkau.

Transportasi udara di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) seharusnya tidak diserahkan sepenuhnya kepada logika korporasi. Diperlukan intervensi negara, baik dalam bentuk subsidi silang, pengaturan tarif batas atas yang lebih rasional, hingga evaluasi berkala atas harga tiket pesawat perintis.

Apalah arti bandara yang megah, jika hanya bisa dilihat dari jauh oleh warga kampung yang tak mampu membeli tiket? Apa guna konektivitas udara jika hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dari luar, sementara warga setempat harus tetap naik pompong belasan jam hanya untuk ke Batam?

Harga tiket bukan hanya soal rupiah, tetapi soal keadilan. Dan keadilan, jika tidak diperjuangkan dari sekarang, akan terus menjadi barang mewah—sama seperti tiket pesawat menuju kampung sendiri.”(TRSF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *