sidikfokusnews.com. Kepulauan Riau.-Di balik gemerlap janji keuntungan dari industri minyak dan gas bumi, tersembunyi satu kewajiban yang tak banyak disadari masyarakat umum—bahkan oleh sebagian pemegang Partisipasi Interest (PI) 10% di Wilayah Kerja. Kewajiban itu bernama Plug and Abandonment (P&A): proses menutup secara permanen sumur-sumur migas yang sudah tidak berproduksi atau menghasilkan di bawah batas keekonomian.
Dalam konteks Wilayah Kerja dengan Kontrak Kerja Sama (KKKS), SKK Migas dan Kementerian ESDM mewajibkan operator migas untuk melakukan P&A sesuai dengan ketentuan dalam Work Program and Budget (WP&B) tahunan. Tujuannya jelas: mengembalikan fungsi lingkungan dan menjamin tidak adanya risiko rembesan minyak atau gas ke permukaan.
Namun di balik urgensi lingkungan itu, ada kenyataan pahit: P&A adalah pekerjaan mahal, rumit, dan tidak menghasilkan uang sepeser pun bagi perusahaan.
P&A: Kewajiban Legal, Bukan Pilihan
Menurut standar internasional yang dirujuk SKK Migas, seperti API RP 1031 dari American Petroleum Institute, sumur yang sudah mencapai tahap non-produktif harus segera di-plug dengan semen dan di-abandon dengan teknik tertentu agar sumur tersebut aman secara permanen. Tahapan ini melibatkan:
Pembersihan lubang bor
Penempatan beberapa cement plug di interval strategis
Pemotongan dan pengangkatan casing
Penutupan wellhead
Reklamasi permukaan tanah, satu proses lengkap ini bisa menelan biaya antara USD 300.000 – USD 500.000 per sumur. Jika sebuah operator memiliki 10 sumur mati, maka anggaran yang harus disiapkan mencapai USD 5 juta per tahun—uang yang sepenuhnya masuk kategori sunk cost alias tidak menghasilkan revenue sedikit pun.
PI 10%: Antara Janji Cuan dan Realitas Biaya
Pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM mendorong adanya kepemilikan daerah melalui PI 10% pada setiap Wilayah Kerja Migas yang masuk masa eksploitasi. Narasinya menggoda: “daerah akan kecipratan keuntungan dari produksi migas.” Namun, banyak yang lupa, PI 10% bukan hanya berarti mendapat 10% revenue—tetapi juga menanggung 10% beban.
Beban itu termasuk biaya P&A yang bisa membengkak di akhir masa kontrak. Di banyak kasus, PI 10% baru menghasilkan keuntungan nyata setelah bertahun-tahun, bahkan kadang tidak pernah break even jika cadangan migas sudah menipis atau biaya operasional membengkak.
Menurut Ir. Muhammad Ridwan, M.Eng, pakar teknik perminyakan dari Universitas Trisakti:
> “PI 10% itu seperti masuk dalam joint venture. Anda ikut untung, tapi juga wajib ikut menanggung semua cost recovery, termasuk biaya P&A. Ini yang jarang dibuka secara transparan kepada BUMD atau pemda.”
Realitas Lapangan: Operator Dilematis, Lingkungan Menunggu
Bagi banyak perusahaan migas, terutama yang memegang WK tua atau sumur-sumur marginal, P&A menjadi beban finansial yang berat. Tidak sedikit operator yang menunda atau memperpanjang hidup sumur yang sebenarnya sudah tidak ekonomis hanya demi menghindari biaya P&A.
Namun penundaan ini membawa risiko besar. Sumur yang tidak dipantau dengan baik bisa menjadi sumber leakage (kebocoran gas) atau kontaminasi air tanah. Belum lagi risiko sosial jika sumur berada di dekat permukiman atau lahan produktif.
Dr. Inayah Fauziah, ahli geologi dan lingkungan migas dari LEMIGAS menegaskan:
“Negligence terhadap P&A bisa menjadi bencana lingkungan dalam jangka panjang. Kalau sumur tua bocor dan tidak dikendalikan, itu bisa mencemari air tanah, bahkan memicu ledakan jika gas metana keluar dan menyulut api.”
Laporan Internasional: Triliunan Dolar untuk Menutup Sumur Mati
Masalah ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, menurut laporan dari Environmental Defense Fund (2022), pemerintah dan perusahaan migas menghadapi potensi kewajiban penutupan lebih dari 3 juta sumur mati yang bisa menghabiskan lebih dari USD 280 miliar untuk P&A.
Hal yang sama terjadi di Laut Utara (North Sea), di mana Inggris dan Norwegia menganggarkan ratusan juta dolar untuk mendanai decommissioning dan P&A sumur-sumur migas yang sudah selesai masa pakainya.
Haruskah P&A Dibiayai Negara?
Sebagian pihak mulai mempertanyakan apakah P&A layak dibebankan sepenuhnya kepada operator, terutama ketika sumur-sumur tersebut telah menyumbang penerimaan negara selama bertahun-tahun. Ada usulan agar dibentuk semacam Dana P&A Nasional yang diambil dari potongan kecil setiap barel minyak atau mmbtu gas yang diproduksi, untuk menjamin eksekusi P&A di masa depan.
Namun, bagi aktivis lingkungan seperti Tia Ramadhani dari Koalisi Hijau Energi Bersih, dana bukanlah alasan untuk mengabaikan tanggung jawab.
“Kalau perusahaan migas menikmati keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam kita, maka menutup sumur dengan aman adalah tanggung jawab moral dan hukum. Jangan sampai masyarakat dan lingkungan yang menanggung akibat kelalaian korporasi.”
Akhir Pekan, Akhir Ilusi?
Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti pemda, BUMD, atau siapa pun yang sedang menanti “durian runtuh” dari PI 10%. Tapi ini adalah pengingat: tidak ada keuntungan tanpa kewajiban. Tidak ada profit tanpa biaya.
Sebelum menandatangani PI 10%, sebaiknya dipahami seluruh aspek keuangan dari hulu ke hilir: termasuk dana P&A, risiko lingkungan, dan beban cost recovery lainnya. Jangan sampai euforia di awal berubah menjadi beban di ujung.
P&A adalah keniscayaan di industri migas. Ia menutup sumur, tetapi membuka mata.
Referensi dari API RP 1031, laporan WP&B KKKS, wawancara dengan pakar industri, serta tinjauan terhadap kebijakan PI 10% dan dekomisioning sumur migas global. Untuk memperkaya diskusi publik, redaksi membuka ruang bagi tanggapan resmi dari SKK Migas, Ditjen Migas, maupun para pemangku kepentingan industri migas nasional.”(TRSF)