banner 728x250
Natuna  

Natuna Dijaga Radar, Kepri Masih Tertinggal: Ketimpangan Pengawasan Laut di Halaman Depan NKRI

banner 120x600
banner 468x60

 

sidikfokusnews.com.Natuna, Kepulauan Riau.– Kabar baik datang dari perbatasan utara Indonesia. Kunjungan jajaran Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) ke Pemerintah Kabupaten Natuna pada pertengahan Juli ini menandai dimulainya penguatan infrastruktur keamanan laut di wilayah strategis tersebut. Dalam kunjungan itu, Bakamla memastikan akan segera memasang sistem radar pengawasan canggih yang terintegrasi langsung ke pusat komando nasional di Jakarta.

banner 325x300

“Radar ini langsung terkoneksi ke pusat kendali nasional. Artinya, aktivitas laut di Natuna bisa dipantau real-time dari Jakarta,” ujar Bupati Natuna Cen Sui Lan saat menyampaikan laporan kepada DPRD Natuna, Jumat (18/7/2025).

Bupati Cen menyebut sistem radar ini sebagai bagian dari sinergi strategis antara pemerintah pusat dan Pemkab Natuna dalam menjaga kedaulatan perairan sekaligus membuka ruang bagi pembangunan ekonomi maritim yang inklusif. Namun, ia juga mengingatkan: radar saja tidak cukup. Tanpa kehadiran nyata di lapangan, laut Natuna tetap rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran.

Teknologi Tanpa Aksi, Risiko Tetap Tinggi

Bupati Cen secara gamblang menyampaikan bahwa teknologi pemantauan harus diimbangi dengan aksi nyata di laut. “Jumlah kapal patroli dan personel kita saat ini masih jauh dari ideal,” ungkapnya. Dukungan dalam bentuk kapal catamaran, RHIB (rigid-hulled inflatable boat), dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat mendesak.

Untuk saat ini, Stasiun Bakamla Natuna hanya menjalankan fungsi pemantauan dan pelaporan ke wilayah Bakamla Zona Barat di Batam sebelum diteruskan ke pusat. Prosedur panjang ini kerap menimbulkan jeda operasional yang dimanfaatkan oleh pelaku pelanggaran hukum di laut, terutama kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas ilegal.

Jalur Strategis yang Dibiarkan Rawan, Natuna bukan sekadar pulau perbatasan. Ia adalah simpul penting dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, jalur internasional vital yang menghubungkan Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Namun, nilai strategis ini justru menjadi titik rawan, terutama terhadap aktivitas pencurian ikan oleh nelayan asing.

“Ketika keamanan laut longgar, kerugian yang ditanggung negara luar biasa besar. Bukan hanya sumber daya yang dicuri, tapi juga potensi ekonomi daerah yang terganjal,” tegas Dr. Ariefsyah Nasution, pakar kelautan dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

Menurutnya, langkah pemasangan radar memang harus diapresiasi. Namun, pertanyaan mendasar tetap perlu diajukan kepada negara: mengapa baru sekarang? “Kalau bisa dilakukan sekarang, kenapa tidak sejak dulu? Ke mana saja negara selama ini?” sindirnya.

Ketimpangan Pengawasan: Anambas, Bintan, Karimun Masih Ditinggalkan

Kritik juga datang dari wilayah lain di Provinsi Kepulauan Riau yang tak kalah strategis. Kabupaten Kepulauan Anambas, Tanjung Balai Karimun, Bintan, bahkan lingga dan Batam masih belum memiliki sistem radar atau perangkat pemantauan laut setara. Padahal, kawasan ini juga menjadi jalur migrasi nelayan tradisional, titik lintas perdagangan, serta lokasi rawan konflik kepentingan sumber daya kelautan.

“Kalau Natuna dianggap penting, maka wilayah maritim lainnya di Kepri tidak kalah pentingnya,” kata Rahman Rauf, aktivis maritim dari Batam Institute. Ia menilai perhatian negara kerap bersifat responsif dan simbolik, bukan strategis dan menyeluruh.

“Penjagaan laut itu bukan hanya ketika sorotan media datang. Jangan sampai laut kita dijaga setengah hati, dan sisanya diserahkan pada mafia perikanan atau oknum aparat yang justru menjadi bagian dari masalah,.

Negara Gagap Kelautan: Refleksi Kebijakan Setengah Hati, kekecewaan atas lambannya kebijakan pengamanan laut turut diungkapkan Prof. Eko Riyanto dari Institut Pertahanan Laut Indonesia. Ia menilai negara masih “gagap kelautan” meski berulang kali menyebut Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Sudah lebih dari satu dekade kita bicara tentang pengamanan laut, tapi implementasinya lambat dan tidak menyeluruh. Ini ironi mengingat kita negara kepulauan terbesar di dunia,” ucapnya.

Prof. Eko menyerukan agar pemerintah pusat berhenti membuat kebijakan maritim berbasis proyek dan mulai membangun sistem berbasis wilayah. “Natuna, Anambas, Bintan, Tanjung Balai dan Batam, semuanya harus diperlakukan setara secara strategis dan operasional,”.

Ekonomi Maritim Butuh Kepastian Keamanan. Bupati Cen turut menekankan bahwa kekuatan maritim bukan hanya soal armada dan radar, melainkan juga pondasi bagi pembangunan ekonomi. Ia menyoroti perlunya revitalisasi Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Natuna dan percepatan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai kunci kebangkitan ekonomi pesisir.

“Kalau laut kita tidak aman, investor dan pelaku usaha akan ragu masuk. Keamanan adalah prasyarat utama,” ujarnya.

Dalam kerangka itu, sinergi antara perlindungan sumber daya alam, keamanan laut, dan insentif ekonomi harus berjalan beriringan. Ia meminta agar pemerintah pusat tak hanya hadir saat krisis, tetapi menetap dengan kebijakan yang berpihak.

Laut Kita, Harga Diri Kita. Langkah Bakamla memasang radar di Natuna memang langkah maju. Tapi ini baru permulaan. Di balik layar radar yang modern, masih terhampar pekerjaan rumah yang belum selesai: ketimpangan pengawasan, kekurangan kapal, minimnya SDM, dan keraguan atas konsistensi negara menjaga wilayah lautnya.

Laut bukan hanya sumber daya. Laut adalah ruang hidup, halaman depan, dan harga diri bangsa. Jika laut adalah masa depan Indonesia, maka hari ini adalah waktunya berhenti menunda dan mulai bertindak secara menyeluruh—bukan parsial, bukan simbolik.”(Tim Redaksi SF)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *